Bisnis ritel yang layu dan mulai mekar

Dalam tiga tahun terakhir, industri ritel di tanah air terhuyung. Beberapa pusat perbelanjaan mulai sepi pengunjung. Banyak gerai ritel mengklaim penjualan mereka menyusut.

Ada tiga faktor yang menjadi penyebab lesunya industri ritel tanah air. Pertama, hantaman bisnis e-commerce. Kedua, gejolak makro ekonomi. Ketiga, daya beli masyarakat yang dianggap masih lemah.

Pebisnis ritel konvensional harus memutar otak menyikapi kondisi itu. Untuk menghadapi pebisnis e-commerce, tak ada pilihan lain bagi peritel konvensional selain ikut merilis gerai online. Hal ini bisa dilakukan oleh peritel berkantong tebal. Bagi peritel bermodal cekak, mereka harus mempertahankan gerai dengan susah payah untuk menjaga cash flow.

Sementara menyikapi gejolak makro ekonomi seperti kurs rupiah, pelaku bisnis ritel pasrah. Tapi, mereka melakukan efisiensi agar gejolak kurs yang terjadi ini, tak membuat kinerja jadi tekor. Beberapa efisiensi dilakukan dengan menutup sebagian toko untuk mengurangi biaya operasional.

Seperti yang dilakukan oleh PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk. Pada 2017, perusahaan berkode saham RALS ini menutup 16 gerai. Alhasil, mereka menekan biaya operasional hingga 20% dan mencegah rapor mereka menjadi merah. Langkah ini juga dilakukan PT Aneka Maju Terus, pemilik ritel Pojok Busana. Bila 2017 lalu, Pojok Busana memiliki 80 toko, maka kini tinggal 70 toko saja. “Tahun ini kami menutup belasan toko karena tidak perform,” ujar Tutum Rahanta, Direktur Pojok Busana. Tutum yang juga Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) ini mengatakan, langkah efisiensi itu mau tidak mau dilakukan demi menjaga performa keuangan. 

Selain menutup gerai, peritel juga melakukan inovasi. Ramayana yang mulai menggarap segmen baru dengan format gerai Ramayana Prime. Dengan strategi baru dan efisiensi gerai, sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2018, RALS mampu mencatatkan pertumbuhan pendapatan 2,22% dan kenaikan laba sebesar 43,36%. Sekretaris Perusahaan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk Setyadi Surya bilang, untuk meningkatkan perfoma perusahaan, mereka membuka dua gerai baru di luar Jabodetabek di akhir 2018 lalu. 

Sementara itu, PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) punya strategi lain untuk memoles pertumbuhan bisnisnya jelang tutup tahun. MAPI memilih merilis gerai online utama yakni divisi active dengan nama Planetsport.asia. Manajemen perusahaan ini juga menerapkan beberapa strategi untuk mendongkrak jumlah pengunjung di gerai-gerai mereka. Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan internal harus dilakukan untuk mendongkrak performa perusahaan.

Menurut kacamata Tutum, tahun ini masih terjadi gejolak. “Jadi realitasnya industri ritel baru mencoba merangkak bangkit,” ujarnya. Pasalnya, kondisi ekonomi dianggap belum stabil, sementara harga komoditas tidak menunjukkan performa membaik, dan daya beli masyarakat belum pulih. Untuk tahun 2019, Pojok Busana tidak pasang target tinggi untuk membuka toko baru. “Kami tidak pasang target. Mengalir saja. Kalau ada lokasi bagus nanti kami buka,” kata Tutum, sembari berharap setelah pemilu tahun depan, kondisi perekonomian Indonesia membaik.

Sementara, Wirawan Winarto, VP Operations PT Lion Super Indo memandang optimistis bisnis mereka di 2019. Sekalipun kondisi jelang pilihan presiden sudah terasa letupan-letupan antar kubu, namun dia meyakini itu tidak berpengaruh negatif pada ekonomi dalam negeri. “Berkaca pada pemilihan kepala daerah DKI Jakarta beberapa waktu lalu, saya rasa Pilpres nanti juga tidak akan punya pengaruh negatif ke ritel,” kata Wirawan.

Super Indo optimistis mampu berkinerja positif dan tiga tahun terakhir bisa bertumbuh sesuai target sehingga terus melanjutkan pembukaan gerai baru. Bila akhir 2015 baru ada 127 gerai, di 2018 ada 167 gerai. Soal berapa banyak target penambahan gerai baru pada di 2019, Wirawan enggan memberikan perincian. Namun, ia menegaskan strategi 2019 tak hanya menambah gerai baru. Manajemen Super Indo juga melakukan adaptasi dengan perkembangan belanja online. Setelah dua tahun bergabung dengan marketplace, HappyFres, di 2109 Super Indo menjajaki untuk bisnis online mandiri.

Minimarket Ekspansif

Bisnis minimarket tampaknya lebih moncer bila dibandingkan dengan ritel bisnis berkonsep department store, supermarket, atau swalayan. Hal ini dirasakan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT). Sepanjang sembilan bulan pertama di 2018, AMRT mencatatkan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih masing-masing sebesar 8,77% dan 621,14% (YoY).

PT Midi Utama Indonesia Tbk (MIDI) juga menorehkan kinerja yang juga kuat. Di periode yang sama, pertumbuhan pendapatan dan laba masing-masing 11,7% dan 80,33%.

Tahun depan, AMRT, pemilik gerai Alfamart tampaknya bakal semakin bersinar. Tak hanya di pasar domestik, AMRT juga akan semakin merangsek di Asia Tenggara. AMRT melalui anak usahanya Alfamart Retail Asia Pte Ltd telah bekerjasama dengan perusahaan asal Filipina, SM Retail Inc. Mereka membentuk anak usaha bernama DC Properties Management Corp (DCPM).

“Kami masih melihat potensi pangsa pasar di Filipina, namun pembentukan anak usaha (DCPM) lebih menitikberatkan kepada dukungan bagi bisnis yang sudah ada, terutama dalam hal penyediaan lahan,” ujar Tomin Widian, Direktur dan Sekretaris Perusahaan Sumber Alfaria Trijaya Tbk.

Hingga akhir tahun ini perusahaan ini menargetkan bisa menambah gerai Alfamart di Filipina hingga menyentuh 525 gerai. Dan di 2019 gerai Alfamart di Filipina ditargetkan mencapai 750 gerai.

E-commerce Bersaing Ketat

Pengusaha merasakan persaingan bisnis e-commerce bakal semakin ketat. Maklum, raksasa-raksasa e-commerce dunia seperti Alibaba dan Amazon sudah mendapatkan karpet merah untuk mengembangkan bisnis mereka di Indonesia. Setelah Alibaba menebar uang di Lazada dan Tokopedia, Oktober 2018 lalu raksasa e-commerce Amerika Serikat, Amazon berkomitmen untuk investasi di Indonesia senilai US$ 1 miliar atau Rp 14 triliun. Di satu sisi, kehadiran Amazon maupun Alibaba di tanah air menunjukkan potensi bisnis e-commerce tanah air yang mendapat penilaian positif dari investor. Namun bagi e-commerce yang tidak mengantongi dukungan investor kakap, jelas kehadiran Amazon dengan komitmen investasinya yang fantastis itu bikin bergetar untuk bersaing.

Teddy Oetomo, Chief Strategy Officer Bukalapak mengatakan, e-commerce di Indonesia saat ini sedang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Jadi tak heran bila investor asing tertarik berinvestasi di Indonesia.

Semakin banyaknya asing masuk, tentu akan memaksa e-commerce lain untuk terus berinovasi guna memenuhi kebutuhan masyarakat. “Kehadiran mereka dapat membantu sosialisasi dan penetrasi digital e-commerce di Indonesia,” ujar Teddy.
Menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, pada 2020 pertumbuhan market dari e-commerce bisa mencapai US$ 32,2 miliar. Pada 2017 lalu, rata-rata pertumbuhan pasar e-commerce mencapai 50%.

Bukalapak sendiri pertumbuhan bisnisnya 100%-300% tiap tahun. Saat ini, transaksi mitra Bukalapak tembus Rp 500 miliar sebulan. Per Agustus visitor Bukalapak 95,92 juta.