Tantangan berat bisnis teknologi finansial

Teknologi finansial atawa tekfin berkembang pesat di Indonesia. Seiring dengan itu, makin banyak orang Indonesia yang gemar memanfaatkan uang elektronik atau uang digital untuk bertransaksi harian. Industri ini bakal terus mekar pada tahun politik 2019. Apalagi dalam prediksi ekonom dan pelaku bisnis, uang beredar bakal melonjak lebih besar ketimbang tahun-tahun biasanya.

Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), M Ajisatria Sulaeman menyebut pertumbuhan tekfin makin besar, terbukti dari makin banyaknya penyedia sistem pembayaran elektronik non perbankan. Tak hanya itu, ia mengklaim pembiayaan tekfin ini sudah diakses oleh lebih dari dua juta nasabah dengan total nilai nominal lebih dari Rp 10 triliun. “Saya yakin tahun 2019, tren pertumbuhan ini akan semakin meningkat,” ujar Aji.

Bukan cuma bisnisnya yang tumbuh, model tekfin pun semakin beragam, mulai dari tekfin untuk pembayaran, investasi, perencanaan keuangan, pembiayaan, situs pembanding produk keuangan dan masih banyak lagi.

Dari beragam model tersebut, menurut Aji, bisnis tekfin yang besar adalah pinjaman model peer to peer lending (P2P Lending) dan sistem pembayaran. Dia juga memprediksi, baik tekfin P2P maupun pembayaran bakal tumbuh lebih pesat tahun depan.

Khususnya sistem pembayaran, Aji melihat sudah mulai banyak e-commerce yang bekerjasama dengan sistem pembayaran. Sebut saja Tokopedia dengan OVO, Bukalapak dengan programnya Buka Dana.

Sementara, Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Financial Technology Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi memperkirakan pada 2019, tekfin yang akan tumbuh berkembang adalah model pembiayaan P2P. P2P merupakan layanan pendanaan gotong royong bagi pihak yang belum dapat dilayani sektor jasa keuangan formal atau underserved.

“Masyarakat pelaku usaha sektor riil di perkotaan dan di pinggiran yang jumlahnya mayoritas dalam perekonomian nasional, mereka membutuhkan kehadiran model fintech P2P lending atau pendanaan gotong royong di masa mendatang,” ujarnya.
Mengingat sifat pinjaman sangat ritel dan tersebar ke banyak peminjam Hendrikus mengingatkan potensi risiko gagal bayar juga tersebar kepada banyak pihak, atau tidak terkonsentrasi dalam jumlah yang terbatas hanya pada beberapa kelompok peminjam saja.

Model pendanaan gotong royong dengan risiko yang tersebar ini menjadi alternatif bagi para peminjam maupun pihak pemberi pinjaman untuk menyalurkan dananya melalui tekfin P2P lending. Hendrikus menyebut secara khusus pada saat ini kekhawatiran masyarakat cenderung meningkat.

“Kami memperkirakan potensi pendanaan gotong royong P2P lending semakin meningkat, di tahun politik” kata Hendrikus. Sebab saat ini, pelaku usaha di sektor ritel mengharapkan kecepatan dan kenyamanan dalam memperoleh pendanaan usaha agar bisa mengimbangi kecepatan perputaran usaha mereka di sektor ritel.

Di sisi lain, pemilik dana juga tertarik untuk memutar duit mereka di industri ini, lantaran imbal hasil yang didapat cukup gede, sementara risiko tersebar tidak hanya ke salah satu pihak saja. Bahkan, “Supply and demand dari industri ini kami perkirakan terus meningkat, dengan atau tanpa tahun pemilu,” ujar Hendrikus.

Meski peluangnya besar, Hendrikus melihat ada tantangan terbesar bagi pelaku bisnis tekfin, yakni bagaimana meningkatkan kepercayaan publik secara luas pada layanan industri yang baru ini. Karena itulah, Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan pelaku bisnis, media massa, dan pemerintah, perlu terus melakukan sosialisasi dan edukasi, agar masyarakat lebih mengenal manfaat dan risiko dari industri pendanaan gotong royong ini. “Agar memberi kontribusi maksimal bagi perekonomian Indonesia,” katanya.

Pada sisi lain, Ajisatria melihat bahwa tantangan di bisnis tekfin pada tahun-tahun mendatang adalah bagaimana meningkatkan perlindungan konsumen dan pencegahan fraud. Fraud adalah tindakan kecurangan yang dilakukan sedemikian rupa untuk menguntungkan diri sendiri maupun kelompok, sehingga merugikan konsumen atau pengguna.

“Potensi fraud makin tinggi di tahun politik. Uang beredar makin banyak, pencucian uang diprediksi naik, mulai dari memalsukan identitas atau meminjam untuk penipuan,” ujarnya.

Makanya, pemerintah, otoritas, maupun perusahaan perlu melakukan penanggulangan masalah ini secara bersama-sama. Penanggulangan fraud ini bisa dengan cara menggunakan sistem aplikasi data personal atau Know Your Customer (KYC) yang kuat dan akurat.

“Fraud itu terjadi karena kami tidak bisa mengenali apakah dia penipu atau bagaimana. Perlu sistem KYC untuk bisa memantaunya. Dengan begitu, kita bisa tahu identitas lengkap aliran dana menggunakan tekfin dari mana ke mana,” kata Ajisatria. Penguatan sistem KYC bukan hanya di tekfin pembayaran dan peminjaman, tetapi perlu dilakukan di industri pendukung tekfin, seperti juga pada perusahaan tekfin penilai kelayakan kredit atau nasabah.

Salah satu, perusahaan tekfin di P2P lending, Akseleran juga optimistis di 2019 akan mencetak pertumbuhan kinerja lebih baik. Ivan Nikolas Tambunan, Chief Executive Officer (CEO) dan Co-founder Askeleran mengakui tahun pemilu biasanya identik banyak usaha yang wait and see. Meski begitu, Ivan optimistis tahun 2019 pinjamannya makin besar.

Sekadar informasi, Akseleran mengklaim telah mencatatkan pertumbuhan jumlah pinjaman dari bulan ke bulan naik sekitar 10%-20%.
“Kami menargetkan penyaluran kredit naik lima kali lipat, dari Rp 200 miliar pada akhir 2018 ini menjadi Rp 1 triliun di akhir 2019. Apalagi pelaku usaha dan masyarakat semakin aware dan paham mengenai konsep P2P lending maupun manfaatnya,” kata Ivan.

Optimisme Ivan berdasarkan data kesenjangan pendanaan di Indonesia yang mencapai Rp 1.000 triliun per tahun. Sementara industri P2P lending saat ini yang baru melayani sekitar Rp 15 triliun. Jadi jumlah masyarakat yang belum terlayani pendanaan masih sangat besar sehingga ada potensi tumbuh.

Pemain lain tekfin di bidang pembiayaan, Investree, menganggap tantangan terbesar industri pada 2019 nanti adalah maraknya pemberitaan mengenai politik di 2019, sehingga berpotensi mengganggu jalannya komunikasi pemasaran.

Adrian Gunadi, Co-founder & CEO Investree mengatakan bahwa masyarakat akan sangat terpapar dan terfokus dengan kampanye politik oleh kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kondisi ini membuat kanal komunikasi di industri tekfin menjadi lebih sempit karena terkalahkan oleh berita-berita politik.

Namun, Adrian masih berharap secara keseluruhan tahun politik bakal memberikan dampak positif pasca pemilu. Ia berharap pemerintah kembali gencar menggenjot pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah di Indonesia. “Investree memanfaatkan hal itu untuk menggaet para vendor ataupun sub kontraktor yang mengerjakan proyek tersebut sebagai peminjam di Investree,” katanya.

Ekspansi Secara Geografis

Teknologi finansial (tekfin) merupakan industri yang bisa dikatakan tengah naik daun di pasar Indonesia. Sudah lebih dari 200 perusahaan tekfin yang ada di Indonesia, dan 72 di antaranya terdaftar dan diawasi oleh OJK.

Ivan melihat akan banyak pemain baru yang hadir di 2019, khususnya dari China. Walaupun, potensi pasar Indonesia masih besar dan banyak peluang yang belum digarap. Untuk bisa bersaing, perusahaan pembiayaan ini bakal membesarkan produk yang sudah ada, yaitu pinjaman usaha berbasis tagihan, berbasis persediaan, berbasis mesin atau peralatan dan pinjaman online merchant bagi penjual online. “Hal ini dilakukan dengan menggenjot marketing di daerah yang sudah kami masuki, maupun dengan melakukan penetrasi di daerah baru,” kata Ivan.

Akseleran mengklaim saat ini sudah menawarkan pinjaman ke seluruh Indonesia. Sedangkan, penerima pinjamannya masih terfokus di Jabodetabek, Jawa Barat, Balikpapan, dan Maluku. Pada 2019, Akseleran akan ekspansi ke Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur untuk kemudian dilanjutkan dengan daerah luar Jawa.

Perusahaan tekfin bidang investasi lainnya seperti Investree juga akan ekspansi dari sisi geografis. Adrian bilang, perusahaannya fokus melebarkan sayap di pasar Asia Tenggara.

“Di awal tahun 2018, kami telah beroperasi di Vietnam secara resmi dengan nama eLoan dan target pasar selanjutnya adalah Thailand, karena kami melihat adanya potensi yang besar di negara tersebut dan kami yakin Indonesia mampu memainkan peran yang penting dalam menciptakan ekosistem tekfin di Asia Tenggara,” kata Adrian.