Rintangan bayangi industri perbankan

Kondisi ekonomi nasional yang masih belum stabil membuat bankir tidak bisa berharap banyak di 2019. Kinerja perbankan, yang tecermin dari sejumlah indikator tumbuh melambat di sepanjang tahun 2018, meskipun secara umum kinerja perbankan masih relatif terjaga.

Mengutip data statistik perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyaluran kredit perbankan hingga September 2018 mencapai Rp 5.120 triliun, atau naik sekitar 12,7% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Kondisi ini mencerminkan kinerja intermediasi sektor perbankan masih positif.

Meski begitu, keuntungan yang dipetik perbankan dari penyaluran kredit justru menyusut. Data SPI OJK memperlihatkan, rata-rata margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) perbankan pada September 2018 hanya 5,14%. Posisi NIM ini turun dari periode yang sama tahun 2017 sebesar 5,33%.

Bukan hanya data OJK yang menunjukkan penurunan NIM perbankan. Riset Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per September 2018 di beberapa bank yang menjadi acuan, menunjukkan rata-rata NIM bank merosot menjadi 4,4% dari tahun sebelumnya sebesar 4,6%.
Tentu saja, bukan tanpa sebab NIM perbankan tergerus. Tren kenaikan suku bunga yang terjadi di sepanjang tahun ini menjadi salah satu pemicu NIM bank melorot. Terakhir, pada November 2018, Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6%. Jika dihitung, kenaikan tingkat bunga acuan BI telah naik 175 bps selama tahun 2018.


Likuiditas masih ketat

Dalam kondisi seperti itu perbankan dipaksa untuk menaikkan bunga simpanan. Jika bank tidak menaikkan bunga simpanan, dana nasabah akan mudah berpindah ke bank lain yang menawarkan bunga simpanan lebih tinggi. Alhasil, beban biaya dana alias cost of fund perbankan melonjak.
Asal Anda tahu, NIM merupakan selisih antara pendapatan bunga bank dengan biaya dana. Pendapatan bunga didapatkan dari imbal hasil bank ketika menyalurkan kredit kepada debitur. Sementara itu, biaya dana berasal dari bunga simpanan yang dibayarkan bank kepada nasabah.

Tahun depan, NIM perbankan diproyeksi masih akan terus melemah. Menurut Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), bank masih dihadapkan pada kebijakan bank sentral yang diproyeksi menaikkan suku bunganya di tahun 2019.
Langkah BI ini dipicu oleh kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, yang diproyeksi masih akan menaikkan suku bunga Fed Rate 2 kali-3 kali di tahun 2019. “BI harus mengikuti kenaikan bunga The Fed,” papar Bhima.

Secara umum, Bhima menambahkan, perbankan nasional akan menghadapi beberapa tantangan di 2019, mulai dari kenaikan bunga acuan BI, kenaikan risiko usaha dari fluktuasi kurs rupiah, hingga perebutan likuiditas di pasar keuangan.

Soal poin yang terakhir, Bhima punya pandangan sendiri. Dia bilang, kondisi likuiditas bank pada tahun 2019 masih akan mengetat. Pemicu utamanya adalah persaingan bank di Indonesia yang kurang sehat. Sebanyak 115 bank saling berebut dana murah alias current account and saving account (CASA). Sesama bank akhirnya saling menyandera dana simpanan. Kondisi ini terus menerus terjadi dan tidak akan ada habisnya selama struktur pasar perbankan tidak berubah.

Di sisi lain, prospek pertumbuhan kredit pada 2019 diproyeksi tidak akan mencapai dua digit. Dinamika politik menjelang dan pasca berlangsungnya pemilihan presiden akan mempengaruhi kinerja penyaluran kredit. Bhima menilai, penyaluran kredit investasi di politik akan slowdown. Pebisnis akan menahan diri untuk ekspansi usaha.

Begitu pula dengan kredit konsumsi yang bakal tertahan naiknya suku bunga kredit, sehingga berdampak ke perlambatan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kendaraan bermotor. Namun, penyaluran kredit modal kerja di beberapa sektor diperkirakan akan tetap tumbuh. “Proyeksi pertumbuhan kredit 2019 di kisaran 8,5%-9,5%,” ujar Bhima.

Senada, Anton Gunawan, Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk memproyeksi pertumbuhan kredit industri perbankan pada tahun depan tidak lebih tinggi dibandingkan dengan 2018. Pertumbuhan kredit tahun 2019 hanya 9%-10% yoy. “Pertumbuhan kredit 2019 lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi sampai akhir 2018 yang sebesar 10,2% yoy,” kata Anton.

Sementara itu, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) pada tahun depan 2019 diproyeksi masih lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan kredit. Pertumbuhan DPK pada 2019 sebesar 8%-10% yoy. Pertumbuhan DPK 2019 ini sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2018 yang sebesar 9,5%.

Kalangan bankir pun menatap pesimistis tahun 2019. Panji Irawan, Direktur Keuangan Bank Mandiri mengatakan, pertumbuhan kredit tahun depan diperkirakan tidak akan setinggi tahun ini. Penyebabnya, ada ketidakpastian yang ditimbulkan oleh faktor global. “Kami akan maintain pertumbuhan di 11,5% untuk kredit, tapi mungkin ada adjustment,” kata Panji.

Potensi kenaikan NPL 

Salah satu pertimbangan menerapkan target pertumbuhan kredit yang lebih rendah dari tahun ini adalah sentimen global seperti perang dagang antara Amerika dan China serta peningkatan suku bunga. Kondisi global yang terjadi saat ini menyebabkan berfluktuasinya nilai tukar dan peningkatan suku bunga di dalam negeri. Hal itu akan mempengaruhi tingkat likuiditas di pasar.

Potensi kenaikan non performing loan (NPL) atawa angka kredit bermasalah juga masih akan membayangi industri perbankan. Bhima berpendapat, sejumlah sektor yang berpotensi mengalami pembengkakan NPL, antara lain industri pengolahan karena tekanan kenaikan harga bahan baku, pelemahan kurs rupiah, dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya 4,9%-5% sampai September 2018. Sektor berikutnya adalah ritel dan wholesale yang tercatat mengalami kredit macet 3,9% per September 2018. Terakhir, kredit properti paling terimbas kenaikan bahan material, berkurangnya pembelian properti kelas menengah atas, dan efek kenaikan bunga acuan yang paling berpengaruh terhadap KPR.

Hariyono Tjahjarijadi Direktur Utama PT Bank Mayapada Internasional Tbk mengakui kenaikan suku bunga menjadi salah satu pemicu kenaikan NPL bank. Itulah sebabnya, NPL di Bank Mayapada juga ikut terdongkrak. Sampai kuartal III tahun, NPL Bank Mayapada sudah berada di level 4%. Angka NPL ini lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang hanya sekitar 2,5%. “Kredit bermasalah ada di hampir semua segmen. Pemicunya, antara lain, karena pertumbuhan ekonomi riil belum maksimal, sehingga volume usaha belum pulih dan banyak usaha yang harus dijadwalkan kembali rencana-rencananya,” beber Hariyono.

Untuk meminimalisir risiko kenaikan NPL, Bank Mayapada tidak akan jor-joran menyalurkan kreditnya pada 2019. “Kami akan menyesuaikan penyaluran kredit dengan kondisi yang ada. Untuk target pertumbuhan kredit tahun depan, kami masih dalam proses penyusunan RBB (rencana bisnis bank) 2019,” katanya.

Lagipula, menurut Hariyono, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kredit 2019 adalah permintaan sektor rill dan pertumbuhan ekonomi. Apabila pertumbuhan ekonomi kurang menunjang pertumbuhan usaha nasabah, maka debitur tidak butuh kredit.

Langkah serupa juga akan dilakukan PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga). Lani Darmawan, Direktur Konsumer CIMB Niaga mengatakan, pada 2019, pihaknya akan lebih berhati-hati dalam mengucurkan kredit. “Dengan tren suku bunga naik, termasuk dampak ke suku bunga pinjaman, fungsi underwriting yang baik dan proses seleksi yang prudent menjadi semakin penting, sehingga tidak perlu memberi dampak besar bagi NPL,” ungkap Lani.

Meski begitu, Lani optimistis, masih ada peluang bagi pertumbuhan kredit konsumsi. Karena itu, pada tahun depan, CIMB Niaga menargetkan pertumbuhan kredit konsumsi seperti KPR dan kredit kendaraan bermotor bisa 10%. “Kami percaya pasar masih besar, meskipun mungkin pertumbuhan di 2019 tidak setinggi tahun ini,” katanya.