Perang dagang rentan membakar komoditas
Gejolak harga komoditas tampaknya masih akan terjadi tahun 2019. Harga beberapa jenis komoditas diprediksi akan positif, namun sebagian komoditas lagi masih mengalami tekanan.
Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi harga komoditas adalah ketidakpastian kapan berakhirnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Perang dagang menyebabkan susutnya permintaan komoditas di pasar global, baik dari AS maupun China, serta mitra-mitra dagangnya.
Saat tensi perang dagang makin memanas, maka harga komoditas berpotensi ikut luruh lebih dalam. Sebaliknya bila saat ada sinyal ketegangan dua negara ini mereda, maka harga komoditas berpotensi naik.
Bagaimana prospek komoditas di tahun 2019? Berikut analisisnya.
Batubara
Produsen batubara termasuk salah satu yang menikmati kenaikan harga sepanjang 2018. Setelah harga batubara anjlok sejak 2010 hingga akhir 2017, di tahun 2018 harga batubara mulai menanjak dan menyentuh harga tertinggi US$ 115 per ton.
Kondisi ini membuat perusahaan batubara di Indonesia riang, apalagi eksportir batubara seperti PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Presiden Direktur & Chief Executive Officer Adaro Energy Garibaldi Thohir, optimistis harga batubara terus membaik. “Kami tetap memiliki keyakinan terhadap fundamental pasar batubara di jangka panjang,” katanya.
Namun harapan pria yang akrab disapa Boy Tohir ini tak sejalan dengan prediksi yang dikeluarkan oleh Focus Economics, Selasa (13/11). Lembaga berbasis di Barcelona Spanyol ini seperti dikutip Commodity News justru merevisi perkiraan rata-rata harga batubara global pada 2019 yang semula US$ 94 per ton, menjadi US$ 92,50 per ton.
Penyebab utama revisi proyeksi harga ini lantaran adanya penurunan permintaan dari China. Negeri ini mulai merasakan dampak perang dagang dengan Amerika Serikat, sehingga kebutuhan energinya menyusut.
Di dalam negeri memang masih ada permintaan batubara yang cukup besar dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Saat harga batubara tinggi, dan pengusaha menggenjot ekspor, pasokan batubara untuk PLN menipis. Beruntung pemerintah telah mewajibkan perusahaan tambang batubara untuk memasok kebutuhan lokal lewat domestic market obligation (DMO). Pada semester I-2018 lalu, batubara DMO sebanyak 49,73 juta ton dari target setahun 121 juta ton.
Meskipun ada kepastian permintaan dari PLN di pasar dalam negeri, produsen batubara tidak bisa semena-mena menentukan harga. Sebab pemerintah telah menetapkan harga batubara sebesar US$ 70 untuk PLN.
Minyak bumi
Naik turunnya harga minyak mentah sangat menentukan pertumbuhan ekonomi satu negara dan ekonomi global. Dalam prediksi US Energy Information Administration yang dipublikasikan Oktober 2018 lalu, dalam jangka pendek minyak jenis Brent pada 2019 akan ada di kisaran harga US$ 74 per barel. Sementara, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) tahun depan diperkirakan US$ 67 per barel. Kedua prediksi ini lebih tinggi ketimbang prediksi yang dikeluarkan lembaga yang sama pada Agustus 2018.
Proyeksi kenaikan harga minyak mentah ini lantaran lembaga tersebut memperkirakan negara-negara eksportir minyak atau Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) akan mempertahankan produksi. Bahkan sebagian negara mengalami penurunan produksi. Meskipun, di sisi lain permintaan energi global juga masih lesu akibat perang dagang AS vs China.
Sebagai catatan, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019, asumsi harga minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) sebesar US$ 70 per barel. Adapun target produksi minyak yang bisa dijual atawa lifting sebesar 722.000-805.000 barel per hari (bph), atau sedikit lebih rendah ketimbang proyeksi realisasi 2018, sebesar 800.000 bph. Ini jauh di bawah kebutuhan minyak mentah Indonesia yang mencapai 1,3 juta bph.
Marjolin Wajong Ketua Asosiasi Pengusaha Minyak mengatakan, produksi minyak nasional terus turun salah satunya karena minimnya eksplorasi lapangan minyak baru. Kondisi semakin rumit saat regulasi investasi di sektor migas, baik di pusat maupun daerah, menyulitkan investor. “Tantangan kita adalah agar ke depan eksplorasi ini terus dilakukan supaya produksi naik,” ujarnya.
Investor juga enggan eksplorasi lantaran harga jual minyak tak menentu akibat perang dagang AS dengan China. Saat kedua negara ini berperang dagang, ada kekhawatiran pertumbuhan ekonomi akan lesu, sehingga permintaan minyak global diperkirakan juga akan mengalami penurunan.
Minyak sawit mentah (CPO)
Perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia itu juga memukul bisnis perkebunan, khususnya minyak kelapa sawit crude palm oil (CPO). Harga CPO yang di awal 2018 sempat menanjak kembali tertekan di akhir tahun.
Harga CPO kembali tertekan karena pasokan minyak kedelai dan minyak bunga matahari dari Amerika Serikat berlimpah lantaran tak terserap di pasar China. Ujung-ujungnya, menurut Mukti Sardjono Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), hal ini membuat permintaan CPO ikut terkoreksi. Sebagai catatan, sepanjang Desember 2018, harga CPO berkisar US$ 428 – US$ 511 per metrik ton.
Namun untuk tahun depan, berdasar prediksi yang dikeluarkan Pemerintah Malaysia Jumat (10/11), harga CPO global di 2019 bakal naik ke kisaran US$ 575.19 per ton atau RM 2.400 dari rerata 2018 di kisaran 559 per ton.
Betul, permintaan CPO dari pasar China bakal melambat. Sementara pasar India juga masih banyak tantangan lantaran negara itu mengenakan tarif tinggi untuk CPO. Namun, harga bisa naik lantaran produksi CPO di Malaysia, yang merupakan produsen CPO terbesar setelah Indonesia, cuma naik sedikit dari 19,8 juta ton tahun ini menjadi 20,5 juta ton di 2019.
Mukti juga optimistis ada kenaikan harga CPO tahun depan. Apalagi permintaan dari dalam negeri meningkat seiring dengan kebijakan pemerintah yang mewajibkan pencampuran bahan bakar solar dengan bahan bakar nabati sebesar 20% atau dikenal B20.
Selain itu, imbuh Mukti, India juga merilis kebijakan pemakaian biofuel, dengan target penggunaan biodiesel 5% pada 2030. “Pemerintah seharusnya memberikan perhatian khusus ke pasar India,“ kata Mukti.
Kebijakan B20 ini membuat produksi biodiesel naik 39% dari 290.000 ton menjadi 402.000 ton. Potensi penyerapan lebih besar lagi jika infrastruktur pengiriman biofuel terbangun. Dalam hitungan Mukti, sampai akhir 2018 penyerapan biodiesel bisa 940.000 ton.