Ekonomi dan pemilu menyandera bisnis properti
Pemilu 2019 tinggal beberapa bulan lagi. Euforia pesta demokrasi terbesar itu sudah mulai terasa di semua lini. Tak hanya kalangan politisi, pelaku bisnis pun juga mulai bersiap diri dan antisipasi.
Ferry Salanto, Senior Associate Director Colliers International Indonesia melihat sejak akhir 2017 kalangan pengusaha dan konsumen mulai menahan diri untuk berinvestasi atau membeli produk properti. “Momentumnya semua melihat pemilu, kalau sudah selesai tidak ada alasan lagi wait and see,” bebernya.
Sikap wait and see pengusaha properti ini sudah terlihat dari molornya sejumlah proyek yang semula dijadwalkan meluncur kuartal III 2018, yang diundur jadi pertengahan tahun depan atau malah tidak pasti kapan. Saat ini, pengembang memilih untuk menuntaskan penjualan produk di proyek yang sudah ada, sebelum merilis proyek baru.
Maklum biasanya, jika terjadi pergantian pemimpin akan mempengaruhi kebijakan yang berlaku bahkan mengubahnya sama sekali. Walhasil pengusaha pun musti menyesuaikan diri dengan kebijakan baru tersebut.
Lalu akankah bisnis properti bergairah setelah ada hasil pemilu 2019? Jawabannya belum tentu. Sebab pengusaha perlu meyakinkan lagi kepada konsumen bahwa kondisi politik sudah normal sehingga prospek investasi properti kembali positif dengan pemerintahan yang baru. “Bagaimana dia bisa diberi kemudahan untuk berinvestasi karena sebenarnya kebutuhan residensial saat ini masih tetap tinggi,” terang Ferry.
Theresia Rustandi, Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk tak menampik saat ini pasar properti di Indonesia memang berat. Ia menyebut tren penurunan minat membeli properti masih terjadi. Selain itu konsumen masih bersikap wait and see. “Kami harap tahun depan sektor properti akan membaik,” ujarnya.
Ia percaya saat stabilitas politik dan iklim investasi lebih baik, maka minat konsumen untuk membeli properti kembali naik. Karena itulah, Intiland telah menyiapkan sejumlah rencana pengembangan dan meluncurkan proyek baru untuk saat pasar mulai pulih. Hanya saja, Theresia masih enggan memerinci proyek apa saja yang mereka persiapkan. Yang pasti, Intiland mengandalkan segmen properti terpadu alias mixed-used dan gedung tinggi high rise untuk penopang pendapatan.
Sementara Olivia Surodjo, Direktur PT Metropolitan Land Tbk (Metland) memprediksi kondisi bisnis properti 2019 tidak jauh beda dari sekarang. Ia merasakan konsumen lebih selektif dalam menentukan pilihan berinvestasi sektor properti.
Segendang sepenarian, Harun Hajadi, Direktur PT Ciputra Development Tbk juga melihat pemilu bukan sesuatu yang negatif bagi bisnis properti. Perusahaan sama sekali tak memasukkan kondisi tersebut sebagai tantangan di tahun 2019. “Pemilu hanya hajat lima tahunan. Keadaan ekonomi secara umum yang pengaruhnya paling besar,” ungkapnya.
Olivia yakni kondisi lesunya bisnis properti saat ini karena kondisi makro ekonomi yang kurang stabil. Salah satunya gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Gejolak mata uang Garuda jelas mempengaruhi pelaksanaan proyek high rise dan komersial. Satu-satunya yang mampu bertahan hanya segmen menengah bawah dan rumah tapak. Karena itulah pada 2019 nanti, Metland tetap mengandalkan kontribusi pendapatan terbesar dari properti menengah bawah. Sekarang, sekitar 70% produk yang dikembangkan Metland menyasar pasar ini.
Dalam kalkulasi Olivia, jika tahun depan rupiah masih bergerak di kisaran Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat (AS) Metland tak perlu membuat antisipasi khusus. Pasalnya, mayoritas produk masih didominasi rumah tapak.
Harun sepakat pada kondisi ketidakpastian soal kurs, Ciputra juga pilih mengandalkan properti rumah tapak yang formulasi dolarnya lebih kecil. Selain itu, permintaan rumah tapak masih cukup tinggi, terutama rumah tingkat menengah. “Kami berharap marketing sales 2019 bisa lebih tinggi dari tahun ini,” tegasnya. Selain itu, Ciputra akan terus berupaya menambah jumlah cadangan lahan atawa land bank. Dengan begitu, saat kondisi perekonomian mulai bangkit, Ciputra bisa langsung melanjutkan ekspansi.
Sementara itu, Paulus Totok Lusida, Sekjen Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Real Estate Indonesia (REI) mengingatkan pentingnya perbaikan regulasi di sektor properti agar bisa mendukung pertumbuhan bisnis properti. Salah satu regulasi yang ia persoalkan adalah kejelasan soal penetapan harga rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Rencananya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan melakukan audit sebelum menetapkan harga yang wajar bagi rumah subsidi. Tapi REI khawatir hiruk pikuk persiapan pemilu membuat pengumuman harga baru bagi rumah subsidi ini tertunda. Dalam perkiraan REI harga baru rumah subsidi akan naik di kisaran 5%.
Dengan penetapan harga baru rumah subsidi, Totok memprediksi tahun depan bisnis rumah tapak masih dapat mengalami pertumbuhan di kisaran 10%. Sebab, pemerintah dan Bank Indonesia sudah melakukan sejumlah kelonggaran kebijakan bidang kredit pemilikan rumah (KPR). Seperti kita tahu, BI melonggarkan aturan KPR dengan membebaskan perbankan untuk menetapkan loan to value (rasio nilai kredit terhadap agunan) sesuai risiko debitur. Aturan ini berlaku sejak Agustus 2018.
Sebagai gambaran, sebelumnya BI menetapkan maksimal pendanaan dari perbankan sebesar 85% untuk pembelian rumah pertama. Artinya, debitur harus menyediakan uang muka (DP) kredit pemilikan rumah sebesar 15% dari harga rumah. Dengan aturan baru, bank boleh memberikan kredit untuk rumah pertama di atas 85%, sehingga DP yang ditanggung konsumen bisa lebih ringan. Sedangkan untuk rumah kedua dan seterusnya, berlaku rasio 80%-90%, kecuali untuk tipe rumah di bawah 21 m².
Meskipun uang muka kredit rumah yang harus disetor oleh konsumen lebih rendah, Perencana Keuangan Eko Endarto melihat kondisi ini tidak serta merta bisa membuat konsumen berminat membeli rumah baru dengan cara kredit. Eko menyebut tren kenaikan suku bunga KPR yang diterapkan bank bikin konsumen pilih wait and see.
Apalagi kelompok masyarakat dengan penghasilan menengah atas yang biasa membeli properti untuk tujuan investasi. Eko melihat tren menjelang pemilu seperti sekarang ini, pemilik dana lebih cenderung mengalokasikan dananya untuk investasi yang sifatnya lebih likuid atau mudah dicairkan, ketimbang investasi properti untuk disewakan.
Senada dengan Eko, Ferry Salanto, Senior Associate Director Colliers International Indonesia melihat tren penyewaan properti khususnya apartemen dalam beberapa bulan terakhir juga sedang turun. “Kalau membeli apartemen juga belum tentu ada penyewanya,” ungkapnya.