Aksi beli pasar saham dimulai sejak akhir 2018

Tantangan pasar modal tahun ini masih berat meski optimisme pasar mulai tampak menjelang akhir tahun. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih mencatat penurunan 2,92% secara year to date hingga 14 Desember 2018.

Tapi, perburuan sejumlah saham menyebabkan adanya lonjakan harga yang signifikan di sebagian saham. Ini pun ditambah dengan lonjakan harga saham-saham IPO sepanjang tahun 2018.

Meski IHSG turun 2,92%, nilai kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia hanya turun 0,84% menjadi Rp 6.993 triliun jika dibandingkan dengan posisi akhir 2017 yang mencapai Rp 7.052 triliun.

Level terendah IHSG tahun ini adalah 5.633,94 pada 3 Juli lalu. Sedangkan level tertinggi IHSG tahun ini adalah 6.689,29 yang tercapai pada 19 Februari. Artinya, IHSG sudah naik 9,51% dari level terendah hingga 14 Desember 2018.

Sejumlah pelaku pasar menilai, pasar saham tahun depan akan lebih baik jika dibandingkan dengan tahun ini. "Investasi di akhir tahun ini akan rebound. Sekarang udah kelihatan, indeks hampir 6.200. Jadi kami tetap optimistis," kata Maryoso Sumaryono, Ketua Bersama Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) yang juga merupakan Direktur Utama PT Asuransi Jiwa Taspen (Taspen Life), Jumat (14/12).

Dia menambahkan, perusahaan-perusahaan asuransi pun menambah saham untuk averaging down portofolio saham. "Porsi investasi tentu diserahkan kepada masing-masing perusahaan asuransi. Ada yang melihat, ini waktunya beli, ada yang lebih konservatif atau menunggu," imbuh Maryono, Jumat (14/12).

Averaging down merupakan strategi investasi lewat pembelian ketika harga saham lebih murah. Ini dilakukan ketika investor sebelumnya telah memiliki portofolio dengan harga yang lebih tinggi daripada sekarang. Dengan pembelian di harga lebih murah, maka harga rata-rata portofolio akan turun.

Untuk tahun depan, industri asuransi masih akan menambah portofolio saham. Pasalnya, perusahaan-perusahaan asuransi akan menerima aliran dana dari nasabah yang perlu diinvestasikan. “Tenang saja, pasar modal Indonesia mempunyai fundamental yang baik dan investasi merupakan produk jangka panjang, jadi bisa kembali positif,” kata Ketua Bersama AAJI Wiroyo Karsono, Jumat (7/12) lalu.

Direktur Utama Sucorinvest Asset Management, Jemmy Paul Wawointana mengatakan, instrumen saham dapat menjadi pilihan yang tepat bagi investor di tahun depan. Dia menilai, valuasi pasar saham sudah cukup murah.

Menurut Jemmy, investor bisa masuk pasar mulai akhir tahun ini hingga kuartal pertama tahun depan. Sebab, indeks kerap mengalami rally sepanjang periode tersebut. “Ini mengindikasikan pasar saham Indonesia tidak terganggu oleh agenda politik,” imbuhnya.

Tak cuma dari sisi harga dan nilai, aliran investasi asing pun berpotensi naik di tahun depan. Asal tahu, sepanjang tahun 2018 hingga 14 Desember, dana asing mencatatkan penjualan bersih Rp 48,66 triliun.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, secara historis, pasar saham Indonesia justru menguat pada tahun-tahun pemilihan umum. "Melihat sejarah pada tahun pemilu, dana asing selalu masuk. Pada tiga pemilu sebelumnya, selalu net inflow dana asing," kata Lana, Jumat (14/12).

Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Katarina Setiawan mengatakan, instrumen berbasis saham menawarkan kinerja yang lebih baik di tahun depan ketimbang instrumen investasi lain.

Alasannya, valuasi saham-saham terkini sudah cukup menarik. Tekanan kenaikan suku bunga acuan AS juga sudah mulai berkurang sehingga kurs rupiah berpotensi menjadi lebih stabil. Para pelaku pasar pun sudah lebih priced in dengan sentimen perang dagang di tahun depan. “Tahun depan merupakan masa normalisasi bagi pasar keuangan,” kata Katarina, Kamis (13/12).

Kehadiran agenda pilpres pada bulan April nanti dinilai tidak terlalu mengganggu kondisi pasar saham dalam negeri. Bahkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selalu mengalami tren bullish ketika memasuki tahun poltik.

MAMI pun memproyeksikan IHSG di tahun depan bisa berada di kisaran 6.900—7.100. Adapun sektor saham pilihan MAMI dan bisa menjadi acuan bagi investor di tahun depan karena valuasinya menarik di antaranya adalah sektor perbankan, consumer discretionary, dan telekomunikasi.

“Walau belum menjadi andalan, sektor konstruksi masih kami pantau karena berpotensi meningkat kinerjanya di tahun politik. Begitu juga dengan sektor properti yang berpotensi tumbuh setelah pemilu,” ungkap Katarina.

JPMorgan dalam riset emerging market 23 November lalu menyebut, ketidakpastian ekonomi global menimbulkan kondisi yang berbeda di tiap negara. JPMorgan memandang overweight untuk beberapa negara, yakni Brasil, Cile, Indonesia dan Rusia, serta sektor kesehatan, industri, dan bahan bangunan. "Indonesia memiliki kebijakan makro yang hati-hati, tingkat inflasi lebih rendah dan belanja pemerintah akan menopang permintaan domestik," ungkap Pedro Martins Junior, Emerging Market Equity Strategist JPMorgan dalam riset.

Belanja terkait pemilu pun akan mendukung permintaan domestik di tahun depan. Di sisi lain, perbaikan neraca dagang dan neraca berjalan akan mengurangi volatilitas rupiah di tahun 2019. "Likuiditas yang lebih baik akan menopang valuasi pasar saham dan pertumbuhan fundamental," imbuh JPMorgan.

Dalam pandangan JPMorgan, beberapa faktor yang turut menopang pasar keuangan Indonesia adalah, pertumbuhan produk domestik bruto lebih dari 5,2% yang didukung oleh konsumsi dan investasi swasta. Konsumsi domestik akan naik dari titik terendah. JPMorgan memperkirakan, pertumbuhan kredit akan mencapai 12%-14% pada tahun depan.

Kualitas aset perbankan pun akan membaik dan pertumbuhan kredit pulih. Aliran dana asing ke Indonesia tahun depan pun akan pulih seiring dengan rupiah dan harga minyak yang lebih stabil.

Di sisi lain, kondisi pasar keuangan Indonesia akan menghadapi tantangan jika defisit perdagangan dan neraca berjalan masih terjadi, serta likuiditas perbankan mengetat. Faktor eksternal seperti kenaikan tensi perang dagang akan menekan pasar keuangan Indonesia. Perlambatan pertumbuhan ekonomi China serta pelemahan yuan juga akan mempengaruhi pendapatan eksportir Indonesia.