Pemilu membawa harapan atau waswas

Masyarakat Indonesia saat ini disibukkan oleh hiruk-pikuk kompetisi dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat tingkat pusat, provinsi, kota /kabupaten, dan juga Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, 2019. Hajatan akbar ini diharapkan mampu memompa perekonomian Indonesia yang masih dalam kondisi lesu darah.

Pengusaha berharap pelaksanaan pemilihan umum bisa mendongkrak tingkat konsumsi masyarakat. Sebab pemilu yang identik dengan pengumpulan massa, tentu membutuhkan suplai logistik, baik berupa makanan, maupun alat peraga pemilihan umum. yang mencukupi.

Rasa optimistis bisnis terus tumbuh tahun depan diungkapkan Harry Sanusi, Presiden Direktur PT Kino Indonesia Tbk. Ia yakin, tahun 2019 bisnis barang-barang konsumsi tetap mekar lantaran tetap dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Presiden Direktur Kalbe Farma, Vidjongtius juga mengungkapkan optimisme senada. “Kami memperkirakan prospek stabil dan positif karena kebutuhan kesehatan selalu ada dan tidak berhubungan dengan pemilu tetapi berhubungan dengan fluktuasi rupiah karena bahan baku kami masih impor,” ujarnya.

Hanya saja Vidjongtius belum memerinci berapa besar targetnya tahun ini. Untuk catatan saja Kalbe merevisi target pertumbuhan bisnis di 2018 yang semula di kisaran 7% menjadi cuma 3% saja.

Sementara Chief Commercial Officer Polytron Tekno Wibowo mengingatkan, hajatan politik sejatinya tak jadi masalah asalkan tetap ada stabilitas, baik di sisi politik keamanan, maupun makro ekonomi. Untuk tahun in I Polytron menyiapkan strategi mengguyur produk baru, dari beberapa lini produk ke pasar agar meningkatkan minat beli masyarakat. “Saya yakin, pasar ini akan tetap bergairah karena orang membeli elektronik dengan dua alasan belum pernah beli atau replacement. Cuma, sekarang ini masih menunda saja, mungkin usai pemilu akan bergairah kembali,” ujar Tekno.

Memaksakan kebijakan

Dengan gambaran optimisme pengusaha, dan kenyataan kondisi pasar yang tengah mengalami kelesuan daya beli, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani mengingatkan agar pemerintah tidak memaksakan kebijakan di sektor riil.
Misalnya dalam pembahasan perubahan Undang-Undang Tenaga Kerja, agar nantinya pemerintah dan DPR bisa lebih realistis. Indonesia harus berkaca pada industri padat karya di Vietnam dan Myanmar yang tengah maju pesat.

Memang, selama ini isu perburuhan sangat kental dengan isu politik, karena politisi ingin mendapat dukungan suara dari kelompok buruh sektor formal yang menurut catatan badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2018, jumlahnya mencapai 53,52 juta orang
Selain itu, pengusaha juga masih dilanda kekhawatiran terhadap rencana penerapan jaminan produk halal lintas sektor. Jika benar pemerintah menerapkan kebijakan halal ini ke semua lini sektor farmasi, makanan dan minuman serta kosmetik, Hariyadi khawatir para pengusaha akan menahan diri. “Ini tidak perlu sebagai mandatori. Kalau enggak perlu jangan dipaksa,” terangnya.

Sedangkan Ade Sudrajat, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengkhawatirkan kesibukan pemilu membuat perhatian pemerintah lebih ke fokus di bidang politik ketimbang pemulihan ekonomi. Ade mengklaim saat ini sektor tekstil sudah ada pebisnis yang menahan investasi. Kalau sudah begini industri tekstil dalam negeri akan tertinggal dengan yang lain.

Bagaimana dengan bisnis Anda?