Bisnis properti tiarap dulu
- Publish: 10 February 2014
- Oleh : Adisti Dini Indreswari,Rani Nossar
- Di lihat :4139 kali
JAKARTA. Industri properti menyambut 2014 dengan pesimistis. Pasalnya, setelah tiga tahun terakhir booming hingga menyentuh puncaknya di 2013, siklus properti diramalkan mulai memasuki fase perlambatan. Meski begitu, potensi pertumbuhan di beberapa jenis properti masih cukup menjanjikan.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Eddy Hussy memproyeksikan, industri properti hanya bisa tumbuh 5%-10% di 2014. Sedikit lebih optimistis, Tulus Santoso Brotosiswojo, Direktur dan Sekretaris Perusahaan Ciputra Development memperkirakan, pertumbuhan industri properti hanya sedikit di atas inflasi, yaitu 10%-15%. Sebagai perbandingan, tahun lalu, pertumbuhan industri properti diyakini di atas 20%.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab perlambatan bisnis properti, antara lain peraturan loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), pelarangan KPR inden, kenaikan tingkat suku bunga, pelemahan nilai tukar rupiah, serta pemilihan umum (pemilu).
Sekedar mengingatkan, pada 30 September 2013, Bank Indonesia (BI) merilis aturan mengenai LTV progresif untuk KPR. Artinya, konsumen harus menyiapkan uang muka lebih besar untuk rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Bukan hanya itu, bank sentral juga mengharamkan bank mengucurkan KPR untuk properti inden alias properti yang belum rampung dibangun.
Tak cuma soal kebijakan BI, hajatan pemilu tahun depan juga bisa menjadi hambatan bagi industri properti. Eddy menyebut, pemilu bisa membuat orang mengerem pembelian properti, terutama oleh investor.
Arief Rahardjo, Senior Associate Director Research & Advisory konsultan properti Cushman & Wakefield, meramalkan, pengembang, investor, maupun end user akan lebih memilih wait and see di 2014. "Secara historis, pemilu 2004 dan 2009 memberi guncangan pada pasar properti meskipun hanya untuk sementara waktu," ujar dia.
Khusus sektor residensial (perumahan), kata Arief, tekanannya lebih tinggi lagi lantaran skema KPR makin ketat. Peningkatan harga yang sangat signifikan hingga mencapai 25% per tahun selama empat tahun terakhir diperkirakan akan melandai. Tahun 2014, kenaikan harga rumah diprediksi sekitar 18%.
Meski begitu, Eddy tetap percaya diri masih ada celah bagi industri properti untuk tumbuh di 2014. Penggerak utamanya adalah tingginya angka backlog perumahan di Indonesia yang mencapai 15 juta unit. Dari kacamata investor, menanam investasi di properti juga masih lebih menguntungkan ketimbang menyimpan uang di deposito.
Kondisi yang kurang menguntungkan ini juga disadari oleh pengembang. Tengok saja, PT Agung Podomoro Land Tbk yang mematok target pertumbuhan konservatif sebesar 10% di 2014. Proyeksi ini sejalan dengan asumsi pertumbuhan industri. Kenaikan suku bunga acuan BI tahun ini dinilai efektif meredam permintaan konsumen. "Dua tahun atau tiga tahun terakhir, pertumbuhannya memang luar biasa. Tapi 2014 tidak sebaik tahun sebelumnya," ujar Indra Wijaya, Wakil Direktur Utama Agung Podomoro Land.
Peluang di komersial
Tekanan bertubi-tubi juga dialami oleh pengembangan properti komersial. Kenaikan suku bunga membuat beban pembangunan proyek yang dibiayai perbankan ikut membengkak. Faktor lainnya, kebijakan parsial berupa moratorium pendirian mal baru di Jakarta.
Kebijakan Gubernur Joko Widodo membuat fokus pembangunan mal anyar bergeser ke wilayah penyangga ibukota. Agung Sedayu Group misalnya, memilih membangun mal keduanya, yakni Grand Galaxy Park di Bekasi.
Namun, Ali Tranghanda, pengamat properti dari Indonesia Property Watch (IPW) menyatakan, moratorium mal di Jakarta malah bernilai positif. Menurutnya, sebagian besar pasar yang diincar para peritel penghuni mal adalah konsumen kelas menengah. Nah, jumlah konsumen di kelas ini akan terus bertambah dan banyak tersebar di daerah pinggiran Jakarta. Alhasil, kebijakan tersebut malah berbuah manis buat pengembang.
Pernyataan Ali ini tak berlebihan. Tengok saja PT Metropolitan Land Tbk. Menurut Olivia Surodjo, Sekretaris Perusahaan Metropolitan Land beberapa waktu lalu, saat mal Grand Metropolitan dibuka pada Juli 2013, tingkat okupansinya sudah mencapai 92%.
Meyriana Kesuma, Manager Research Coldwell Banker Commercial mengungkapkan, pengembangan properti komersial bukannya tanpa masalah. Isunya bukan lagi soal bubble properti yang sekarang sudah mulai stabil. Melainkan, soal prospek ekonomi makro dan daya beli masyarakat.
Jika inflasi tidak bisa dikendalikan, seperti yang terjadi 2013, bukan tak mungkin daya beli masyarakat bisa terganggu.
Pasar Rumah Tapak di Jabodetabek
Tahun | 2012 | 2013 (proyeksi) | 2014 (proyeksi) |
Penjualan (unit) | 12.858 | 11.152 | 10.958 |
Pasokan baru (unit) | 8.445 | 10.526 | 9.536 |
Harga (Rp/m2) | 5,3 juta | 6,7 juta | 7,9 juta |
Pasar Perkantoran di Pusat Bisnis Jakarta
Tahun | 2012 | 2013 (proyeksi) | 2014 (proyeksi) |
Penyerapan (m2) | 350.000 | 210.000 | 265.000 |
Pasokan baru (m2) | 277.150 | 200.600 | 399.000 |
Tarif sewa (Rp/m2/bulan) | 280.900 | 280.000 | 320.000 |
Pasar Ritel di Jakarta
Tahun | 2012 | 2013 (proyeksi) | 2014 (proyeksi) |
Penyerapan (m2) | 229.300 | 199.400 | 160.800 |
Pasokan baru (m2) | 240.900 | 163.600 | 213.200 |
Tarif sewa (Rp/m2/bulan) | 620.000 | 634.800 | 638.000 |
sumber: Cushman & Wakefield Indonesia dan riset KONTAN