Bisnis properti tiarap dulu

Bisnis properti tiarap dulu

 JAKARTA. Industri properti me­nyambut 2014 dengan pesimistis. Pasalnya, setelah tiga tahun terakhir booming hingga menyentuh puncak­nya di 2013, siklus properti diramal­kan mulai memasuki fase perlambat­an. Meski begitu, potensi pertum­buhan di beberapa jenis properti masih cukup menjanjikan.

Ketua Umum Persatuan Perusaha­an Real Estat Indonesia (REI) Eddy Hussy memproyeksikan, industri properti hanya bisa tumbuh 5%-10% di 2014. Sedikit lebih optimistis, Tu­lus Santoso Brotosiswojo, Direktur dan Sekretaris Perusahaan Ciputra Development memperkirakan, per­tumbuhan industri properti hanya sedikit di atas inflasi, yaitu 10%-15%. Sebagai perbanding­an, tahun lalu, pertumbuhan industri properti diyakini di atas 20%.

Beberapa faktor yang menjadi pe­nyebab perlambatan bisnis properti, antara lain peraturan loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), pelarangan KPR inden, kena­ikan tingkat suku bunga, pelemahan nilai tukar rupiah, serta pemilihan umum (pemilu).

Sekedar mengingatkan, pada 30 September 2013, Bank Indonesia (BI) merilis aturan mengenai LTV progresif untuk KPR. Artinya, kon­sumen harus menyiapkan uang muka lebih besar untuk rumah kedua, keti­ga, dan seterusnya. Bukan hanya itu, bank sentral juga mengharamkan bank mengucurkan KPR untuk pro­perti inden alias properti yang belum rampung dibangun.

Tak cuma soal kebijakan BI, hajat­an pemilu tahun depan juga bisa menjadi hambatan bagi industri pro­perti. Eddy menyebut, pemilu bisa membuat orang mengerem pembeli­an properti, terutama oleh investor.

Arief Rahardjo, Senior Associate Director Research & Advisory kon­sultan properti Cushman & Wake­field, meramalkan, pengembang, in­vestor, maupun end user akan lebih memilih wait and see di 2014. "Seca­ra historis, pemilu 2004 dan 2009 memberi guncangan pada pasar pro­perti meskipun hanya untuk semen­tara waktu," ujar dia.

Khusus sektor residensial (peru­mahan), kata Arief, tekanannya lebih tinggi lagi lantaran skema KPR ma­kin ketat. Peningkatan harga yang sangat signifikan hingga mencapai 25% per tahun selama empat tahun terakhir diperkirakan akan melan­dai. Tahun 2014, kenaikan harga rumah diprediksi sekitar 18%.

Meski begitu, Eddy tetap percaya diri masih ada celah bagi industri properti untuk tumbuh di 2014. Penggerak utamanya adalah tinggi­nya angka backlog perumahan di In­donesia yang mencapai 15 juta unit. Dari kacamata investor, menanam investasi di properti juga masih lebih menguntungkan ketimbang menyim­pan uang di deposito.

Kondisi yang kurang menguntung­kan ini juga disadari oleh pengem­bang. Tengok saja, PT Agung Podo­moro Land Tbk yang mematok target pertumbuhan konservatif sebesar 10% di 2014. Proyeksi ini sejalan de­ngan asumsi pertumbuhan industri. Kenaikan suku bunga acuan BI tahun ini dinilai efektif meredam perminta­an konsumen. "Dua tahun atau tiga tahun terakhir, pertumbuhannya memang luar biasa. Tapi 2014 tidak sebaik tahun sebelumnya," ujar Indra Wijaya, Wakil Direktur Utama Agung Podomoro Land.

Peluang di komersial

Tekanan bertubi-tubi juga dialami oleh pengembangan properti komer­sial. Kenaikan suku bunga membuat beban pembangunan proyek yang dibiayai perbankan ikut membeng­kak. Faktor lainnya, kebijakan parsi­al berupa moratorium pendirian mal baru di Jakarta.

Kebijakan Gubernur Joko Widodo membuat fokus pembangunan mal anyar bergeser ke wilayah penyang­ga ibukota. Agung Sedayu Group misalnya, memilih membangun mal keduanya, yakni Grand Galaxy Park di Bekasi.

Namun, Ali Tranghanda, pengamat properti dari Indonesia Property Watch (IPW) menyatakan, moratori­um mal di Jakarta malah bernilai positif. Menurutnya, sebagian besar pasar yang diincar para peritel peng­huni mal adalah konsumen kelas menengah. Nah, jumlah konsumen di kelas ini akan terus bertambah dan banyak tersebar di daerah ping­giran Jakarta. Alhasil, kebijakan ter­sebut malah berbuah manis buat pengembang.

Pernyataan Ali ini tak berlebihan. Tengok saja PT Metropolitan Land Tbk. Menurut Olivia Surodjo, Sekre­taris Perusahaan Metropolitan Land beberapa waktu lalu, saat mal Grand Metropolitan dibuka pada Juli 2013, tingkat okupansinya sudah menca­pai 92%.

Meyriana Kesuma, Manager Re­search Coldwell Banker Commercial mengungkapkan, pengembangan properti komersial bukannya tanpa masalah. Isunya bukan lagi soal bub­ble properti yang sekarang sudah mulai stabil. Melainkan, soal pros­pek ekonomi makro dan daya beli masyarakat.

Jika inflasi tidak bisa dikendalikan, seperti yang terjadi 2013, bukan tak mungkin daya beli masyarakat bisa terganggu.

Pasar Rumah Tapak di Jabodetabek

Tahun 2012 2013 (proyeksi) 2014 (proyeksi)
Penjualan (unit) 12.858 11.152 10.958
Pasokan baru (unit) 8.445 10.526 9.536
Harga (Rp/m2) 5,3 juta 6,7 juta 7,9 juta

Pasar Perkantoran di Pusat Bisnis Jakarta

Tahun 2012 2013 (proyeksi) 2014 (proyeksi)
Penyerapan (m2) 350.000 210.000 265.000
Pasokan baru (m2) 277.150 200.600 399.000
Tarif sewa (Rp/m2/bulan) 280.900 280.000 320.000

Pasar Ritel di Jakarta

Tahun 2012 2013 (proyeksi) 2014 (proyeksi)
Penyerapan (m2) 229.300 199.400 160.800
Pasokan baru (m2) 240.900 163.600 213.200
Tarif sewa (Rp/m2/bulan) 620.000 634.800 638.000

sumber: Cushman & Wakefield Indonesia dan riset KONTAN

 

merah biru hijau