Politik panas, dingin harga batubara
- Publish: 10 February 2014
- Oleh : Agustinus Beo Da Costa
- Di lihat :10724 kali
JAKARTA. Sepanjang tahun 2013, harga jual batubara tidak menggembirakan kalangan pengusaha. Kekhawatiran tetap melandainya harga di tahun 2014 juga membuat risau pengusaha, apalagi adanya rencana pemerintah yang hendak menaikkan royalti izin usaha pertambangan (IUP) menjadi 13,5% sebagaimana yang diberlakukan pada perusahaan pemegang konsesi perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B).
Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengatakan, harga batubara sulit naik di 2014 apabila produksi nasional tetap tinggi sebagaimana produksi tahun 2013 ini yang mencapai 395 juta ton. Namun, jika pemerintah mampu mengendalikan produksi batubara tetap di bawah 400 juta ton per tahun, harga batubara dapat sedikit terdongkrak di kisaran US$ 90 per ton hingga US$ 95 per ton.
Dia menambahkan, di 2014 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di dalam negeri juga banyak yang belum terbangun, sehingga penjualan batubara tetap mengandalkan pasar ekspor. Namun, mulai beralihnya permintaan batubara menjadi shale gas juga akan menjadi tantangan bagi pengusaha nasional.
Menurutnya, kebijakan baru berupa kenaikan royalti serta penarikan bea ekspor masih belum saatnya dibebankan kepada pengusaha di tahun depan. "Kalau harga jual batubara sudah mencapai US$ 120 per ton, silahkan saja pemerintah menaikkan pajak untuk pendapatan negara," imbuhnya.
Masih rendahnya harga jual batubara turut membuat khawatir kontraktor tambang. Tjahyono Imawan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) bilang, keberlangsungan usaha jasa pertambangan sangat dipengaruhi oleh harga jual tersebut.
"Sebanyak 80% perusahaan jasa, ada di sektor pertambangan batubara. Kalau perusahaan pemilik tambang tak mampu beroperasi, jelas dampaknya berpengaruh pada kami," kata dia.
Selain harga, kebijakan pemerintah yang mewajibkan campuran pemanfaatan biodiesel sebesar 10% pada 2014 juga menjadi kendala kontraktor tambang. Tjahyono menilai, kewajiban dapat mengganggu kinerja operasional karena gangguan mesin dan alat berat.