Butuh kepastian demi memanaskan gairah industri migas

Butuh kepastian demi memanaskan gairah industri migas

JAKARTA. Tahun politik nanti tam­paknya tidak bakal membawa ba­nyak pengaruh besar bagi industri minyak dan gas bumi (migas) do­mestik. Maklum, industri ini punya karakter bisnis jangka panjang. Mes­ki begitu, kalangan pebisnis migas melihat ada yang perlu menjadi per­hatian bidang ini tahun depan.

Ketua Umum Indonesian Petrole­um Association (IPA) Loekman Mahfoedz mengatakan, era easy oil atau mudah mendapatkan minyak sudah usai. Saat ini dan tahun depan, pebisnis migas bakal lebih sulit men­dapatkan sumber migas yang lebih banyak ada di laut dalam (deep wa­ter). Selain itu, kandungan air di la­pangan migas yang beroperasi sudah mencapai 80% sampai 90%.

Meski begitu, masih ada peluang untuk mendapatkan potensi energi lain, seperti shale oil and gas. Sa­yang, potensi energi ini belum ba­nyak digarap di Indonesia.

Ini menjadi perhatian di tengah kebutuhan energi global yang saat ini sebesar 8,3 juta barel per hari bakal meroket tiga kali lipat di tahun 2020 nanti. Untuk memenuhi kebu­tuhan ini jelas butuh dana besar. "Diperlukan investasi hingga US$ 28 miliar per tahun," kata Loekman.

Supaya bisa terlaksana, Loekman melihat ada empat hal yang menjadi perhatian bidang ini. Pertama, pem­berian insentif eksplorasi migas. Maklum, saat ini banyak lapangan eksplorasi yang berada di kawasan Indonesia Timur terletak di laut da­lam. Sudah pasti, risiko bisnisnya sangat tinggi.

Dalam tiga tahun terakhir, dari sekitar 19 perusahaan sampai 20 perusahaan yang eksplorasi, sekitar 12 perusahaan gagal menemukan cadangan migas (dry hole). Adapun investasi yang sudah dikeluarkan total puluhan perusahaan ini menca­pai US$ 1,9 miliar.

Selain insentif, perlu juga ada ke­pastian hukum kontrak yang sudah ditandatangani. Investor baru bisa melakukan perhitungan secara ko­mersial jika sudah ada kepastian hukum terkait kontrak.

Wakil Ketua IPA Sammy Hamzah mengatakan, dengan menyelesaikan masalah yang menumpuk dari tahun -sebelumnya seperti cost recovery yang tertunda, cabotage, masalah perpajakan khususnya pajak bumi bangunan (PBB), pengaturan baru mengenai alih daya, baik langsung dan tidak langsung yang berdampak pada operasional kontraktor, peme­rintah sebenarnya sudah memberi­kan insentif bagi pelaku industri. "Menyelesaikan pelbagai permasa­lahan yang tertunda merupakan in­sentif tersendiri bagi kami," jelas Sammy.

Kedua, kata Loekman, terkait pe­nerapan prinsip 3 K, yaitu kejelasan, konsistensi, dan kepastian dalam peraturan dan ketentuan terkait in­dustri migas. Contoh, dalam lima ta­hun mendatang, ada sekitar 20 kon­trak bagi hasil yang akan habis masa kontraknya.

Ada sekitar 20 kontrak pemerintah swasta (KPS) yang akan berakhir masa kontrak dan ini setara dengan 30% dari total produksi mi­gas nasional saat ini. Sedangkan da­lam waktu 10 tahun ke depan, ada beberapa KPS yang total produksi­nya bisa setara 60% dari produksi migas Indonesia saat ini.

Karena itu, pemerintah perlu un­tuk membuat kebijakan yang akurat, jelas, dan tegas tentang kapan wak­tunya kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) bisa memasukkan permo­honan atau aplikasi perpanjangan kontrak dan kapan pastinya peme­rintah mengeluarkan keputusan apakah kontrak diperpanjang atau tidak diperpanjang.

Ketiga, soal penyederhanaan biro­krasi. Selama ini, kata Loekman, masalah pembebasan lahan dan pro­ses perizinan menjadi kendala dalam industri migas. IPA mengharapkan agar proses perizinan bisa lebih di­persingkat, birokrasi lebih lancar. Sekitar 69 perizinan terkait industri migas sebaiknya ditangani dan dike­luarkan oleh satu atap.

Keempat, percepatan pengem­bangan proyek migas. Situasi ter­akhir di Satuan Kerja Khusus Pelak­sana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dengan tidak boleh membuat persetujuan terhadap proyek pengembangan la­pangan migas membuat industri ini ikut melambat.

Bila seluruh jajaran pembuat kebi­jakan berkomitmen untuk mening­katkan produksi minyak bumi nasio­nal, pelbagai kendala investasi migas harusnya bisa terpangkas.

Investasi Industri Hulu Migas (US$ juta)

Tahun Produksi Pengembangan Eksplorasi Total
2013* 9.000,97 3.267,23 2.257,77 14.525,97
2012 11.474,69 3.563,31 2.985,41 18.023,41
2011 9.891,17 3.380,35 3.065,11 16.336,63
2010 7.664,92 2.709,46 2.317,35 12.691,73
2009 6.895,98 2.880,92 1.567,81 11.344,71
*Status September 2013

Investasi Industri Hilir Migas (US$ juta)

Tahun Pengolahan Pengangkutan Penyimpanan Niaga Bahan Bakar Nabati Pertamina (Hilir) Total
2013* 33,97 48,09 16,81 20,83 0 392 511,7
2012 296,13 195,58 297,11 167,61 0 651,93 1.608,36
2011 598,88 545,9 394,3 11,41 0 831,56 2.382,05
2010 118,49 42,71 190,76 27,69 0 592,45 972,1
2009 94,55 412,76 24,8 2,49 110,7 764,96 1.410,26
* Status Agustus 2013 | Sumber : ESDM

 

merah biru hijau