Menakar beban Otoritas Jasa Keuangan
- Publish: 06 January 2014
- Oleh : Sandy Baskoro,Benediktus Krisna Yogatama,Adhitya H
- Di lihat :6224 kali
JAKARTA. Pengawasan industri jasa keuangan nasional memasuki babak baru. Mulai awal tahun 2014, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal menggantikan peran Bank Indonesia (BI) mengatur dan mengawasi industri perbankan.
Sebelumnya, terhitung sejak awal tahun ini hingga di pengujung 2013, OJK sudah lebih dulu mengatur dan mengawasi industri keuangan nonbank (IKNB). Dengan bergabungnya industri perbankan di bawah pengawasan OJK, beban otoritas yang baru seumur jagung ini semakin berat, seiring dengan harapan masyarakat yang semakin besar.
Gambaran itu sudah terlihat pada tahun ini. Sejak awal Januari hingga Jumat (20/12) pekan lalu, OJK memberikan sedikitnya 6.824 layanan kepada konsumen dan masyarakat. Dari jumlah itu, sebanyak 6.084 berupa permintaan informasi atau pertanyaan dari konsumen dan masyarakat, 473 berupa informasi dari konsumen dan masyarakat, serta 845 berupa pengaduan konsumen.
Dari total 845 pengaduan, sebanyak 60% merupakan pengaduan terkait industri keuangan non-bank, kemudian 20% pengaduan berasal dari pasar modal, serta 20% lagi berasal dari industri perbankan. Jika dikalkulasi, sepanjang Januari hingga minggu ketiga Desember 2013, setidaknya ada dua pengaduan masyarakat yang masuk ke OJK dalam sehari.
Dari data akhir September, sebanyak 62% atau 431 pengaduan berasal dari industri keuangan non-bank. Adapun terbanyak kedua, yaitu 20%, adalah pengaduan terhadap layanan perbankan. Sisanya berasal dari industri pasar modal.
Hingga data terakhir, pengaduan terhadap perusahaan asuransi masih mendominasi, yakni 306 pengaduan. Dari total pengaduan di industri jasa keuangan, belum jelas berapa persen yang dalam penanganan OJK.
Sejatinya telah melakukan beberapa tindakan terkait fungsinya sebagai lembaga pengawas. Di industri asuransi, misalnya, pada 22 Oktober OJK mencabut izin usaha Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya. Ketika izinnya dicabut, Bumi Asih menyisakan utang klaim mencapai Rp 85,6 miliar. Total pemegang polis asuransi ini sebanyak 10.854 orang.
Tapi langkah OJK berbuntut panjang. Manajemen Bumi Asih menggugat OJK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bumi Asih mengklaim, regulator pengawas industri keuangan nonbank ini menyalahi prosedur dalam pembatasan kegiatan (PKU) dan pencabutan izin usaha. Keputusan OJK juga dianggap melanggar kepentingan umum.
Ini merupakan kali pertama OJK mendapat gugatan. Yang pasti, otoritas siap meladeni gugatan hukum tersebut. "Itu hak mereka," ungkap Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman Hadad, awal Desember lalu.
Kasus Bumi Asih patut menjadi perhatian bagi regulator. Artinya, OJK perlu menyiapkan mekanisme pengawasan berlapis, mulai dari tim kajian, penindakan, hingga tim hukum. Sengketa lain yang menjadi pelajaran OJK adalah kasus Bank Century. Proses hukum yang tengah berlangsung di KPK dan proses politik di DPR terkait bailout Bank Century senilai Rp 6,7 triliun tak lepas dari kebijakan BI pada tahun 2008.
Tenaga pengawas
Tahun depan beban kerja dan potensi gugatan hukum tentu akan lebih banyak lagi. Sebab, ranah pengawasan OJK semakin luas, bukan hanya mengendus aktivitas industri keuangan nonbank, tapi juga memantau sepak terjang industri perbankan. Di sisi lain, OJK juga harus mengawasi ancaman kekeringan likuiditas di industri perbankan. Tahun depan, masalah ini juga harus mendapat pengawasan ekstra, terutama di bank-bank kecil.
Untuk menyiasati beban kerja yang kian berat, OJK harus memiliki tenaga pengawas dalam jumlah besar dan berkualitas. Valuasi industri yang masuk radar pengawasan OJK sangat bombastis. Secara total, nilai aset industri keuangan, baik bank maupun non-bank mencapai lebih dari Rp 10.000 triliun. Perinciannya: aset bank Rp 4.700 triliun, kapitalisasi pasar modal Rp 4.158 triliun, serta industri keuangan nonbank (termasuk perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, syariah) yang mencapai Rp 1.274 triliun.
Dengan valuasi industri keuangan yang sangat besar, regulator butuh energi yang cukup untuk mengawasi. Awal September lalu, OJK membuka lowongan kerja besar-besaran. Tenaga pengawas yang bergabung dari BI dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) dinilai belum mencukupi. Saat ini jumlah pegawai Bapepam-LK sekitar 1.037 orang. Sementara, pegawai pengawas BI sekitar 1.400-an orang. OJK membutuhkan sedikitnya 2.000 hingga 2.500 pegawai untuk mengawasi industri keuangan.
Proses peralihan pegawai dari BI ke OJK juga berpotensi menghadapi kendala. BI akan mengalihkan 1.159 orang ke OJK sebagai pengawas perbankan. Masalahnya, sesuai Undang-Undang OJK, pegawai BI yang beralih ke OJK memiliki masa transisi hingga 31 Desember 2016. Saat itu, pegawai dari BI boleh memilih, apakah akan kembali ke BI atau tetap berada di OJK. Hal inilah yang bisa mengganggu kinerja OJK ke depan.
Yang tak kalah gawat, OJK bakal menghadapi fluktuasi pasar modal serta pasar keuangan domestik dan global hingga pemilu. Jadi, OJK perlu perlu berhitung cermat dalam mengambil kebijakan. Sebab, kebijakan pemerintah bisa berbuntut ke proses politik dan berujung ke ranah hukum, seperti halnya kasus Bank Century yang kembali menghangat.
Ketua OJK, Muliaman Darmansyah Hadad, menyatakan Indonesia memiliki sedikitnya dua modal utama menghadapi kemungkinan krisis pada tahun depan. Pertama, industri keuangan Indonesia lebih memiliki daya tahan. Meski belakangan mengetat, likuiditas industri perbankan nasional masih terbilang kuat.
Kedua, para pengambil kebijakan berupaya menyiapkan protokol penanganan krisis yang lebih baik. Dari sini, pembagian tugas dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKKSK) harus dilakukan dengan baik. "Kalau kedua hal ini bisa dijaga, kita bisa menghadapi tantangan krisis ini," ungkap Muliaman.