Banjir aturan, bank harus adaptasi

Oleh: Nina Dwiantika   |   20 December 2012   dibaca sebanyak 10891 kali
Banjir aturan, bank harus adaptasi

Upaya perbankan menyesuaikan diri dengan sejumlah aturan baru, bisa berdampak terhadap bisnis bank

JAKARTA. Tahun 2013 merupakan tahun sulit bagi bisnis bank. Pelaku industri ini bukan cuma menghadapi krisis ekonomi yang berimbas ke penyaluran dan penghimpunan dana. Mereka juga tertekan oleh berbagai regulasi baru Bank Indonesia (BI) yang terbit akhir November lalu. Penyesuaian terhadap aturan bisa mempengaruhi bisnis, terutama pada rencana ekspansi.

Beberapa aturan BI, yang meninggalkan pekerjaan rumah berat untuk para bankir, antara lain regulasi perizinan berjenjang (multilisensi). Beleid ini menjadi rumit, karena dikaitkan efisiensi, yang tecermin dalam net interest margin (NIM) dan biaya operasional (BOPO). Bank dengan NIM dan BOPO tinggi, bakal susah meraih izin ekspansi, kendati bermodal besar.

Regulasi lain, pembagian zonasi dan penghitungan modal minimal untuk ekspansi. BI menetapkan, bank yang membuka tiga cabang di zona satu dan dua wajib membuka satu cabang di zona enam. Keharusan ini bisa membuat bankir berfikir ulang atas rencana ekspansi. Mereka akan menghitung lagi plus minus membuka unit di daerah tertinggal yang bisnis perbankannya belum berkembang.

Zona satu dan dua merefleksikan daerah yang bisnis banknya sudah jenuh. Antara lain, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali dan Banten. Sedangkan zona enam meliputi daerah Papua Barat, Sulawesi Barat, NTB, Maluku Utara, NTT dan Gorontalo. "Bank itu kan 'follow the trade' di mana bisnis berkembang, bank pasti akan hadir. Nah, kalau bank harus dipaksa masuk ke daerah-daerah yang tertinggal, bank butuh insentif agar tidak rugi," kata Ryan Kiryanto, Kepala Ekonom Bank BNI, beberapa waktu lalu.

Bank itu kan 'follow the trade' di mana bisnis berkembang, bank pasti akan hadir. Nah, kalau bank harus dipaksa masuk ke daerah-daerah yang tertinggal, bank butuh insentif agar tidak rugi

 

Sambil menunggu insentif yang akan disodorkan BI, kata Ryan, bank akan wait and see dalam merencanakan ekspansi jaringan baru.

Setiap kali ingin buka cabang di luar Jawa, bank menimbang beberapa indikator. Yang paling utama perputaran uang, aktivitas sektor riil dan infrastruktur.

Jika ketiga faktor itu berkembang baik, bank pasti mau buka layanan. "Sedangkan daerah yang pendapatannya tinggi, tapi sektor riilnya tidak jalan, belum tentu menarik di mata bank," kata Ryan lagi.

Contohnya, daerah penghasil sumber daya alam, seperti migas dan batubara. Daerah tersebut memang kaya, tapi sebagian besar uang di sana lari ke Jakarta. "Kantor pusat perusahaan migas dan tambang itu kan semuanya ada di Jakarta. Transaksinya juga di Jakarta. Jadi daerah seperti ini belum tentu menarik buat bisnis bank," katanya.

Destry Damayanti, Ekonom Bank Mandiri, menambahkan pengaturan zonasi ini akan bermanfaat, jika bank sentral segera menerbitkan aturan branchless banking. Ketentuan ini memungkinkan perbankan menggunakan agen untuk melayani nasabah mereka di daerah terpencil. Kalau membuka cabang, biayanya pasti lebih mahal dan belum tentu menguntungkan.

Regulasi lain yang bisa menghambat bank adalah alokasi kredit produktif serta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam persentase tertentu. Artinya, bank yang memiliki portofolio kredit konsumsi melebihi batas wajar, harus mulai mengurangi dan mengalihkan ke produktif. Dari total kredit produktif, sebanyak 20% harus ke UMKM.

Kebijakan ini memang sangat bagus, tetapi proses penyesuaiannya tidak mudah dan membutuhkan waktu. Bank memilih mengerem penyaluran dana ketimbang mengubah portofolio kredit secara tidak hati-hati karena bisa mengerek kredit bermasalah.

Kredit konsumsi

Meski BI menerapkan banyak pembatasan, bankir memprediksi kredit konsumsi tetap menjadi motor pertumbuhan. Beleid loan to value (LTV) atau rasio utang terhadap harga barang, di kredit pemilikan rumah (KPR) dan kendaraan memang berdampak namun tidak signifikan. Pasalnya, permintaan kendaraan dan rumah masih tinggi.

Menurut Ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, kebijakan BI menaikkan uang muka kredit KPR dan KKB justru berimbas positif ke pengendalian risiko kredit macet (NPL). "Ini langkah bagus BI tetap menjaga risiko pertumbuhan KPR," tambahnya. Jadi, kredit konsumsi tetap melesat, namun dengan kualitas yang lebih baik.

Bankir menargetkan, pertumbuhan kredit konsumer tahun depan minimal 20% sedangkan paling tinggi sebesar 25% - 30%. Artinya, lebih tinggi dibandingkan rata-rata target pertumbuhan kredit perbankan pada kisaran 20% - 22%.

Direktur Konsumer Bank Central Asia (BCA), Henry Koenaifi, mengatakan tahun depan pertumbuhan KPR paling rendah sebesar 20%, sedangkan paling tinggi bisa 30%. "Beberapa pengembang mengatakan, tahun depan permintaan KPR tinggi, meskipun BI membuat aturan KPR," katanya.

Presiden Direktur Bank Internasional Indonesia (BII), Dato' Khairussaleh Ramli, menuturkan portofolio kredit terbesar BII di kredit konsumer dan global wholesale banking. Saat ini, porsi konsumer 30% dan global wholesale banking 37%, sedangkan UKM hanya 16%. Tahun depan pertumbuhan kredit konsumer di 36%-37%. "Kelas menengah Indonesia naik, konsumsi juga ikut naik," ungkapnya.

Direktur Ritel Bank Permata, Lauren Sulistiawati, memprediksi pertumbuhan KPR 25%. "Di Permata dampak aturan BI tidak terasa, karena debitur yang mengajukan kredit untuk rumah tinggal," tuturnya. Maklum, debitur mengajukan KPR rumah seharga Rp 500 juta - Rp 1 miliar.

Lauren menambahkan, permintaan kredit investasi juga untuk kebutuhan konsumer. Misalnya pembangunan perumahan, apartemen atau gedung-gedung seperti mall dan perkantoran.

Bank Permata membukukan kredit Rp 89,9 triliun per September 2012. Sebanyak Rp 40 triliun, atau 45%, merupakan kredit korporasi. Sisanya, Rp 50 triliun ke kredit ritel. Antara lain Rp 23 triliun usaha kecil dan menengah (UKM), Rp 14 triliun KPR, Rp 10 triliun kredit kendaraan bermotor (KKB) dan sisanya kredit tanpa agunan dan kakartu kredit. "Kontribusi kredit konsumer ke pendapatan sebesar 65%, dari wholesale banking sekitar 35%," katanya.

Bank patungan Astra dan Standard Chartered ini belum berencana mengubah komposisi kredit, karena sudah ideal. Yakni 55% ritel dan 45% korporasi. "Kedua bisnis ini lari sama kencangnya," tambahya.

Berdasarkan data BI, per September 2012 pertumbuhan kredit konsumer 19% atau mencapai Rp 759 triliun, kredit modal kerja tumbuh 21% menjadi Rp 1.236 triliun dan kredit investasi tumbuh 30% menjadi Rp 559 triliun. Sementara, bunga kredit konsumsi masih paling tinggi yakni mencapai 13,67%, bunga kredit modal kerja 11,71% dan bunga kredit investasi 11,36%.

Artikel Lainnya
Data-Data
bawahnya
    Copyright © Kontan.co.id 2012. All rights reserved.
kontan