JAKARTA. Badai belum berlalu. Ekonomi global tahun depan masih menghadapi risiko gejolak yang tinggi. Hampir semua prediksi lembaga keuangan dunia menyebutkan, ekonomi Indonesia tidak akan luput dari guncangan ekonomi global ini.
Yang utama adalah negara raksasa ekonomi dunia yakni Amerika Serikat hingga saat ini masih menghadapi ketidakpastian masalah anggaran. Mereka menghadapi krisis fiskal yang dikenal dengan fiscal cliff. Fiscal cliff merupakan kondisi pemerintah harus mengurangi belanja secara otomatis, sementara tarif pajak yang sebelumnya mendapatkan insentif potongan menjadi balik ke tarif normal.
Misalnya, anggaran pertahanan akan dipotong sekitar 10%, lalu anggaran non pertahanan juga akan dipangkas sekitar 8%. Tak hanya itu, tarif pajak penghasilan yang berlaku saat ini yakni 10%, 15%, 25%, dan 33% akan naik menjadi 15%, 28%, 31%, 36%, dan 39,6% sesuai batas kelompok penghasilannya.
Bisa kita bayangkan jika negara seperti Amerika Serikat harus berhemat dengan ketat, maka dampaknya jualan dari negara lain akan susah masuk. Padahal, Amerika menjadi tujuan utama ekspor negara seluruh dunia. Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti juga bilang, kebijakan pengetatan fiskal di AS bakal membuat ekonomi dunia mengalami kontraksi.
Dampak lanjutannya adalah negara pemasok utama produk ke Amerika Serikat seperti China dan India, akan mengalami kesulitan. Semua lembaga keuangan dunia memprediksi, pertumbuhan ekonomi dua negara ini masih rawan melorot tahun depan. Organisasi Kerjasama Pembangunan Ekonomi (OECD) meramalkan China masih tumbuh dari 8,2% tahun ini menjadi 9,3% tahun depan. Sementara, India juga diperkirakan tumbuh dari 7,1% pada tahun ini menjadi 7,7% tahun depan.
Tapi, Wakil Kepala Riset Valbury Asia, Nico Omer Jonckheere memprediksi, prospek perdagangan komoditas internasional akan membaik secara terbatas. Menurutnya, harga beberapa komoditas tertentu seperti minyak mentah, minyak sawit mentah (CPO), dan batubara memiliki peluang naik. Hanya saja, harga komoditas tambang seperti timah dan nikel masih suram. "Harga minyak akan dipengaruhi oleh geopolitik tahun depan," katanya.
Karena kenaikan terbatas, nilai ekspor Indonesia tahun depan tak bisa diharapkan tumbuh besar. Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Mohammad Dian Revindo menambahkan, Indonesia tak bisa banyak berharap dari kenaikan harga komoditas. Ekspor Indonesia akan menanjak kalau harga karet dan CPO naik tinggi. Padahal, konsumen CPO dan karet terbesar dari Indonesia adalah China dan Jepang yang notabene ekonominya masih berisiko melambat tahun depan.
Indonesia masih positif
Meski ekonomi dunia masih menghadapi ketidakpastian, Indonesia masih bisa memompa pertumbuhan ekonomi dari dalam negeri. Mengingat tahun depan adalah tahun terakhir bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tahun itu akan menjadi kesempatan terakhir untuk menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi.
Pemerintah diharapkan bisa memompa belanja negara untuk merealisasikan janji-janji politik sekaligus menaikkan citra di mata masyarakat. Program pemerintah akan diarahkan untuk meningkatkan konsumsi dalam negeri, misalnya dengan menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak PTKP menjadi Rp 2,025 juta tahun depan.
Hanya saja, yang masih menjadi ganjalan adalah beban subsidi yang harus ditanggung oleh pemerintah masih cukup besar tahun depan. Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013, anggaran subsidi bahan bakar minyak BBM mencapai Rp 193,8 triliun. Subsidi listrik juga masih besar, mencapai Rp 80,94 triliun tahun depan.
Subsidi ini yang menjadi beban dan membuat bujet pemerintah susah untuk lebih ekspansif. Karena itu, pemerintah perlu segera merealisasikan pemangkasan subsidi BBM dan setrum.
Tahun depan, pemerintah akan menaikkan tarif listrik sebesar 15%. Soal rencana kenaikan harga BBM belum ada keputusan. Hanya saja, pemerintah telah mewacanakan untuk menaikkan harga BBM sebesar 33% menjadi Rp 6.000 tahun depan. Dengan hitungan kenaikan harga BBM sebesar ini, pemerintah menghitung, bujet negara bisa hemat sekitar Rp 70 triliun.
Tapi, kenaikan harga ini bukan tanpa risiko. Ada risiko inflasi sebesar 0,5%-0,7% setiap pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 10% dari harga yang ada kini. Artinya, inflasi tahun depan bisa melonjak dari perkiraan 4,9% menjadi sekitar 7%.
Tapi, pilihan pahit ini layak dipertimbangkan agar bujet pemerintah punya ruang untuk ekspansi tahun depan. Dengan begitu, target pertumbuhan ekonomi 6,8% bukan sekadar hiasan di buku APBN 2013.