Pedang bermata ganda bernama bea keluar CPO

Oleh: Merlinda Riska, Handoyo   |   20 December 2012   dibaca sebanyak 10735 kali
Pedang bermata ganda bernama bea keluar CPO

 Penerapan bea keluar (BK) ekspor atas produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ibarat pedang bermata ganda. Di satu sisi, BK CPO mampu menggairahkan industri hilir sawit. Tapi, di sisi lain, kebijakan ini bisa menekan ekspor CPO,

Penerapan bea keluar (BK) ekspor atas produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) ibarat pedang bermata ganda. Di satu sisi, BK CPO mampu menggairahkan industri hilir sawit. Tapi, di sisi lain, kebijakan ini bisa menekan ekspor CPO, terutama ketika harga komoditas itu merosot seperti saat ini.

Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) memprediksi, karena BK CPO, investasi industri hilir sawit telah meningkat sampai US$ 1,02 miliar, selama Januari-Desember 2012. Peningkatan investasi ini terjadi di sektor rafinasi.

Kapasitas terpasang industri rafinasi selama 2011 mencapai 20,6 juta ton. Di tahun ini, kapasitas terpasang diproyeksikan mencapai 25 juta ton dan berpotensi menjadi 30 juta ton pada akhir tahun depan. "Proyeksi itu dapat dicapai asalkan pemerintah tak mengubah skema BK CPO sekarang ini," ungkap Sahat.

Kebalikan dengan industri hilir, kebijakan BK CPO justru mengancam pasar CPO Indonesia di luar negeri.

Apalagi Malaysia siap memangkas pajak ekspor CPO negara itu pada awal tahun depan.

Kebijakan Malaysia itu tentu mengakibatkan produk CPO asal Indonesia tidak kompetitif. Joko Supriyono, Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) khawatir, ekspor CPO Indonesia ke India dan ke China menyusut lantaran digerus CPO asal Malaysia. Itulah sebabnya, Gapki mendesak pemerintah mengikuti langkah Malaysia dengan memangkas BK CPO.

Asal tahu saja, pemerintah Malaysia bakal memangkas pajak ekspor CPO mulai 1 Januari 2013 dengan menerapkan pajak ekspor progresif sebesar 4,5% saat harga CPO mencapai RM 2.250-RM 2.400 per ton. Pajak ekspor maksimal sebesar 8,8% saat harga CPO RM 3.450 hingga RM 3.600 per ton.

Nah, pengusaha menilai, BK CPO Indonesia terlalu tinggi. Indonesia menerapkan pajak progresif atas ekspor CPO sebesar 0% apabila harga di bawah US$ 750 per ton atau RM 2.282,25 (1 US$ = RM 3,0430). Kemudian 7,5% untuk harga CPO di kisaran US$ 750 - US$ 800 per ton, hingga pajak ekspor 22,5% jika harga di atas US$ 1.250 per ton.

Sejatinya, tanpa ada perubahan BK pun, ekspor CPO sudah melambat. Dorab Mistry, Direktur Godrej International Ltd, memprediksi, ekspor CPO ke India pada 2013 mencapai 8,2 juta ton atau setara 80,4% total impor CPO India. Jumlah ini masih sama dengan proyeksi impor CPO India dari Indonesia di tahun ini.

India memang mulai memakai minyak nabati namun kebutuhan CPO juga masih tinggi. Tahun lalu, impor CPO India dari Indonesia mencapai 7,6 juta ton. "Permintaan minyak nabati naik dan CPO masih memegang peranan besar," kata Dorab.

China juga mulai memprioritaskan produk jadi ketimbang produk mentah berupa minyak sawit mentah. "Impor CPO China dari Indonesia pada 2013 diperkirakan 6,3 juta ton," prediksi Xu Jianfei dari Chinatex Grains & Oil Import & Export Co Ltd.

Thomas Mielke, Direktur International Statistical Agricultural Information (ISTA) mengusulkan, Indonesia perlu memperbesar pasar ekspor ke Pakistan. Alasannya, negara ini lebih memilih mengonsumsi CPO daripada minyak nabati lain. Ekspansi pasar ke Pakistan juga demi menyiasati kelesuan pasar China dan India.

Bukan mustahil Indonesia terus mengerek volume ekspor CPO ke Pakistan. Apalagi baru-baru ini Indonesia dan Pakistan telah meratifikasi perjanjian perdagangan di bidang tertentu atau preferential trade agreement (PTA).

Dalam perjanjian tersebut, Pakistan menawarkan akses pasar untuk Indonesia dengan total 287 pos tarif preferensi, termasuk produk CPO.

Di pasar Eropa, ekspor CPO bakal sulit tumbuh. Salah satu penghambatnya adanya kebijakan yang menabrakkan produk CPO dengan kerusakan lingkungan. "Ada pula kebijakan diskriminatif tentang sertifikasi di setiap anggota Uni Eropa yang diterapkan mulai 2013," ujar Direktur European Centre for International Political Economy, Fredrik Erixon.

"Ada pula kebijakan diskriminatif tentang sertifikasi di setiap anggota Uni Eropa yang diterapkan mulai 2013,"

Karena itu, CPO Indonesia tak perlu bergantung pada pasar Eropa. Sebab, mayoritas ekspor CPO Indonesia menyasar negara Asia, seperti India dan China.

Hermanto Siregar, ekonom Institut Pertanian Bogor memprediksi produksi CPO Indonesia di tahun depan naik 8,48% menjadi 30,5 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 22,9 juta ton CPO mengalir ke pasar ekspor.

Artikel Lainnya
Data-Data
bawahnya
    Copyright © Kontan.co.id 2012. All rights reserved.
kontan