Hantu menakutkan industri tambang: aturan & harga rendah

Oleh: Merlinda Riska, Handoyo   |   20 December 2012   dibaca sebanyak 5720 kali
Hantu menakutkan industri tambang: aturan & harga rendah

 Bayang-bayang kesulitan bagi industri pertambangan di tahun ini tampaknya masih akan berlanjut di tahun depan nanti. Ada dua masalah utama yang menjadi ketakutan pengusaha tambang tahun depan.

Bayang-bayang kesulitan bagi industri pertambangan di tahun ini tampaknya masih akan berlanjut di tahun depan nanti. Ada dua masalah utama yang menjadi ketakutan pengusaha tambang tahun depan.

Pertama, adanya peraturan pemerintah yang membatasi ekspor mineral. Oleh pengusaha mineral, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral yang terbit pada Februari 2012 merupakan momok menakutkan bagi industri pertambangan di Tanah Air.

Itulah sebabnya, pengusaha nikel yang tergabung dalam Asosiasi Nikel Indonesia (ANI) menggugat Permen ESDM 7/2012 itu ke Mahkamah Agung (MA). Beruntung, MA memenangkan sebagian isi gugatan, utamanya soal larangan ekspor mineral mentah.

Hanya saja, pemerintah tetap berkeras memberlakukan pembatasan itu. Alasannya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang menjadi landasan penerbitan peraturan tersebut masih dalam diuji materi di Mahkamah Konsitusi (MK).

Shelby Ihsan Saleh, Ketua Umum ANI, mengatakan, akibat Permen ESDM 7/2012 tersebut, praktis ekspor bijih mineral terhenti dan dari 200 perusahaan nikel plus 100 perusahaan bijih mineral tutup usaha. Memang, hingga Oktober 2012, pemerintah telah menetapkan kuota ekspor nikel mencapai 22,5 juta ton. Namun, menurut Shelby, realisasinya sampai kuartal III-2012 hanya 10 juta ton.

ANI memprediksi, ekspor bijih nikel hingga akhir tahun 2012 hanya akan mencapai 15 juta ton, jauh lebih rendah dibandingkan dengan realisasi tahun lalu yang mencapai 32,6 juta ton. Yang mengkhawatirkan, jika pemerintah kukuh dengan keputusannya, termasuk mengabaikan putusan uji materi MA, kondisi ini bakal berlanjut hingga tahun depan.

Sejatinya, regulasi yang membatasi industri bijih mineral tidak hanya terjadi di industri nikel, melainkan juga dirasakan penambang lain. Lihat saja nasib pengusaha zirkonium. Menurut Ferry Alfiand, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Zirkonium Indonesia (APZI), Permen ESDM 7/2012 juga membawa dampak buruk bagi produksi zirkonium. "Produksi tahun depan akan sama seperti tahun ini, yakni 10.000 ton per bulan. Padahal, sebelumnya bisa mencapai 20.000 ton per bulan," kata dia.

Selain soal regulasi, kedua, harga mineral yang masih tetap rendah lantaran krisis global yang masih melanda Eropa dan Amerika Serikat. Alhasil, rendahnya permintaan dari dua wilayah tersebut juga berdampak pada penurunan permintaan dari China. Padahal, China adalah penyerap bijih mineral utama asal Indonesia.

Lihat saja harga timah sekarang ini. Bayangkan saja, tahun 2011, harga timah sempat mencapai level US$ 29.000 per ton. Namun di sepanjang pertengahan 2012 harganya anjlok menjadi US$ 17.000 per ton.

Sukrisno, Direktur Utama PT Timah Tbk, mengatakan, sebenarnya kebutuhan timah di dunia mencapai 360.000 ton per tahun, sementara produksi global hanya sebesar 330.000 ton. Seharusnya, produksi tersebut bisa menguatkan harga timah di pasar internasional.

Namun yang terjadi, meski pasokan kurang dari kebutuhan tetapi melemahnya industri pengguna timah di Eropa dan Amerika membuat harga timah terkoreksi juga. "Di 2013 mendatang, kami optimistis, harga rata-rata timah akan mencapai US$ 22.000 per ton, dan harga tertingginya bisa US$ 26.000 per ton," harap Sukrisno.

Melorotnya harga juga dialami produsen batubara. Maklum, harga batubara di tahun ini hanya di kisaran US$ 85 per ton. Padahal tahun lalu harganya bisa mencapai US$ 120 per ton.

Belum lagi soal rencana pembatasan ekspor batubara di tahun depan. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), Bob Kamandanu, saat ini pihaknya tengah berkonsolidasi untuk menyikapi rencana pembatasan ekspor tersebut. "Padahal tahun depan kami targetkan produksi 367,5 Juta ton," kata dia.

Namun, produsen emas seperti PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, yang ditakutkan bukan soal harga, melainkan renegosiasi kontrak karya. Kalau tekanan renegosiasi itu membuncah, bisa-bisa lahan konsesi tambang dua raksasa tambang ini bakal terpangkas.

Artikel Lainnya
Data-Data
bawahnya
    Copyright © Kontan.co.id 2012. All rights reserved.
kontan