Perbankan adalah nadi perekonomian, bahkan di sebuah wilayah jajahan. Maka, keberadaan bank di Indonesia sudah dimulai sejak era ' kompeni' bercokol di negeri ini. Di era kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertumbuh subur, dari bank lokal hingga bank bank asing.
Mari, kita telusuri jejak panjang sejarah perbankan Indonesia mengarungi berbagai gelombang krisis maupun saat menikmati kejayaan di masa-masa gemilang.
1746- 1752:
VOC mendirikan De Bank van Leening di Jawa yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara.
1826:
Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.T. Elout ke Hindia Belanda. Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap telah memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank.
Pada saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia Belanda, telah mendesak didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka. Meskipun demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9 Desember 1826.
Surat tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu, atau lazim disebut oktroi.
1827:
Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No. 28 tentang oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai DJB.
24 Januari 1828:
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.
1828-1837:
Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838.
1881:
Tahun ini merupakan periode oktroi keenam, di mana DJB melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte baru DJB, status bank diubah menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.). Dengan perubahan akte tersebut, DJB dianggap sebagai perusahaan baru.
16 Desember 1895:
Proses kelahiran Bank BRI dibidani oleh seorang Patih Banyumas yang bernama Raden Bei Aria Wirjaatmadja. Ketika itu, ia menyadari akan pentingnya sebuah lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman ringan untuk menepis jeratan lintah darat.
Dengan bantuan Asisten Residen Banyumas, E Sieburgh, kemudian didirikan sebuah bank bernama "De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden" atau Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi yang berkebangsaan Indonesia (pribumi), pada 16 Desember 1895. Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari kelahiran Bank BRI.
1898:
BRI yang dulu namanya lebih dikenal sebagai Volksbank atau Bank Rakyat yang tumbuh dengan pesat di berbagai tempat sehingga mulai melibatkan pemerintahan Hindia Belanda secara langsung dan namanya berganti lagi menjadi Volkscredietwezen.
1922:
Di tahun ini, berlaku oktroi kedelapan yang merupakan oktroi DJB terakhir hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi terakhir ini, DJB banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang mengarah kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda.
Oktroi kedelapan berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu tahun sampai dengan 31 Maret 1922.
1922:
Di tahun ini, berlaku oktroi kedelapan yang merupakan oktroi DJB terakhir hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi terakhir ini, DJB banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang mengarah kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda.
Oktroi kedelapan berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu tahun sampai dengan 31 Maret 1922.
Pada 31 Maret 1922, De Javasche Bankwet 1922 (DJB Wet) diundangkan. Bankwet 1922 ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30 April 1927 serta UU 13 November 1930.
Pada dasarnya De Javasche Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari oktroi kedelapan DJB yang berlaku sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922 adalah 15 tahun ditambah dengan perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada pembatalan oleh gubernur jenderal atau pihak direksi.
1934:
Didirikan Algemeene Volkscredietbank (AVB) untuk mempersatukan banyak Volksbank yang mengalami kesulitan atau semacam merger di masa sekarang. Secara resmi AVB didirikan pada 19 Februari 1934 yang dituangkan dalam Berita Negara (Staatsblad) No. 82 tentang Bepalingen betreffende de Algemeene Volkscredietbank.
1941:
Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Salah satunya NV. Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank (saat ini Bank OCBCNISP), didirikan 4 April 1941 dengan kantor pusat di Bandung.
1942:
Setelah menduduki Pulau Jawa pada bulan Februari-Maret 1942, tentara Jepang memaksa penyerahan seluruh aset bank kepada mereka. Selanjutnya, pada bulan April 1942, diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran kewajiban-kewajiban bank.
Kemudian, Jepang mengeluarkan ordonansi berupa perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank China.
Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo.
1945:
Bank-bank Jepang mulai beroperasi di Indonesia. Sebut saja Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang.
Sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh gulden.
Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) didirikan di Solo.
1945:
Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Indonesia lalu memproklamirkan kemerdekaannya dua hari kemudian, 17 Agustus 1945.
Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945 telah disusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII pasal 23 Hal Keuangan yang menyatakan cita-cita membentuk bank sentral dengan nama Bank Indonesia.
Sementara itu, Belanda kembali mencoba menduduki wilayah yang pernah dijajahnya. Maka dalam wilayah Indonesia terdapat dua pemerintahan yaitu: pemerintahan Republik Indonesia dan pemerintahan Belanda atau Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA).
Selanjutnya NICA membuka akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan menugaskan DJB menjadi bank sirkulasi mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu Ginko.
Sedangkan di wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia, dibentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia (Yayasan Bank Indonesia) yang kemudian melebur dalam Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/1946.
Namun demikian, situasi perang kemerdekaan dan terbatasnya pengakuan dunia sangat menghambat peran BNI sebagai bank sirkulasi.
22 Februari 1946:
Bank Rakyat Indonesia didirikan. Bank ini berasal dari De Algemene Volkskrediet Bank atau Syomin Ginko.
Maret 1946:
Hingga Maret 1946, jumlah uang yang beredar di wilayah Hindia Belanda berjumlah sekitar delapan milyar gulden. Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda.
Bank Indonesia didirikan di Palembang.
Bank Dagang Nasional Indonesia didirikan di Medan.
NV Bank Sulawesi didirikan di Manado.
5 Juli 1946:
Bank Negara Indonesia didirikan dan sekarang dikenal dengan BNI '46.
1946:
Pada 30 Oktober 1946, pemerintah menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai uang pertama Republik Indonesia.
1947:
Indonesian Banking Corporation didirikan di Yogyakarta, lalu kemudian berubah menjadi Bank Amerta.
1949:
Digelar Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang memutuskan DJB sebagai bank sirkulasi untuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Bank Negara Indonesia sebagai bank pembangunan.
Bank Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank Gemari. Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA).
Desember 1949:
Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu, sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), fungsi bank sentral tetap dipercayakan kepada De Javasche Bank (DJB).
1950:
Bank Dagang Indonesia NV didirikan di Samarinda tahun 1950 kemudian merger dengan Bank Pasifik.
17 Agustus 1950:
Pemerintah RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada saat itu, kedudukan DJB tetap sebagai bank sirkulasi.
1 Juli 1953:
Bangsa Indonesia telah memiliki sebuah lembaga bank sentral dengan nama Bank Indonesia.
1958:
Pemerintah melakukan nasionalisasi bank milik Belanda mulai dengan Nationale Handelsbank (NHB).
1959:
Nationale Handelsbank (NHB) selanjutnya pada tahun 1959 yang diubah menjadi Bank Umum Negara (BUNEG kemudian menjadi Bank Bumi Daya).
1960:
Secara berturut-turut Escomptobank menjadi Bank Dagang Negara (BDN) dan Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM) menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) dan kemudian menjadi Bank Expor Impor Indonesia (BEII).
1961:
Dikeluarkan SK Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961 yang melarang pengumuman dan penerbitan angka-angka statistik moneter/perbankan, maka antara tahun 1960-1965, Bank Indonesia tidak menerbitkan laporan tahunan, termasuk data statistik mengenai kliring dan perhitungan sentral.
1962:
Bank Pembangunan Daerah (BPD) didirikan di daerah-daerah tingkat I. Dasar hukumnya adalah UU No 13 Tahun 1962.
1964:
Pada 5 Juli 1964, atas dasar pertimbangan politik untuk mempermudah komando di bidang perbankan untuk menunjang Pembangunan Semesta Berencana Wikisource-logo.svg, selanjutnya pada tahun 1965 pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengintegrasikan seluruh bank-bank pemerintah ke dalam satu bank dengan nama Bank Negara Indonesia.
1965:
Pemerintah hendak mengabungkan seluruh bank swasta atau bank asing dalam Bank Pembangunan Swasta sebagai satu-satunya bank penghimpun dan penyalur dari semua dana-dana progresif di sektor swasta.
1968:
Bank Negara Indonesia menjalani BNI Unit III dengan UU No 17 Tahun 1968 berubah menjadi Bank Negara Indonesia '46.
Bank Dagang Negara (BDN) berasal dari Escompto Bank yang di nasionalisasikan dengan PP No 13 Tahun 1960, namun PP ini dicabut dengan diganti dengan UU No 18 Tahun 1968 menjadi Bank Dagang Negara. BDN merupakan satu-satunya Bank Pemerintah yangberada di luar Bank Negara Indonesia Unit.
Bank Bumi Daya (BBD) semula berasal dari Nederlandsch Indische Handelsbank, kemudian menjadi Nationale Handelsbank, selanjutnya bank ini menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan berdasarkan UU No 19 Tahun 1968 menjadi Bank Bumi Daya.
Bank Tabungan Negara (BTN) berasal dari De Post Paar Bank yang kemudian menjadi Bank Tabungan Pos tahun 1950. Selanjutnya menjadi Bank Negara Indonesia Unit V dan terakhir menjadi Bank Tabungan Negara dengan UU No 20 Tahun 1968.
Namun pada 2 Oktober 1998, di saat kriis moneter merontokkan perbankan Indonesia, Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor Impor Indonesia (Bank Exim).dilebur menjadi Bank Mandiri.
1978:
Proyek pengembangan Pengusaha Kecil Bank Indonesia diluncurkan.
1 Februari 1985:
Bank Indonesia memperkenalkan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
27 Oktober 1988:
Pemerintah mengeluarkan Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 1988), yaitu kebijakan deregulasi gelombang kedua di bidang moneter dan perbankan.
28 Februari 1991:
Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan 28 Februari 1999 (Pakfeb 1991), tentang Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank.
25 Maret 1992:
Penetapan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menggantikan UU No. 14 Tahun 1967.
29 Mei 1993:
Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan 29 Mei 1993 (Pakmei 1993).
25 Januari 1995:
Bank Indonesia menetapkan kriteria perbuatan tercela yang mengakibatkan larangan seseorang menjadi pemegang saham atau pengurus bank.
26 Maret 1997:
Bank Indonesia menyempurnakan ketentuan mengenai pinjaman komersial luar negeri (PKLN).
Pertengahan 1997, krisis moneter yang menghantam kawasan Asia khususnya Thailand menjalar ke Indonesia. Kurs rupiah terpuruk, ekonomi macet dan politik kian memanas. Perbankan mulai terlilit kesulitan likuiditas dan kredit macet.
3 September 1997
Sidang kabinet terbatas Ekkuwasbang dan Prodis antara lain memutuskan melikuidasi bank-bank yang tidak sehat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
21 Oktober 1997:
Pemerintah menyampaikan usulan penutupan tujuh bank yang dilikuidasi, namun IMF menghendaki lebih dari jumlah tersebut yang akhirnya setelah melalui serangkaian kajian, disepakati 16 bank yang harus segera dilikuidasi.
27 Oktober 1997:
Bank Indonesia membentuk Tim Persiapan dan Pengawas Pelaksanaan Likuidasi (TP3L) untuk menangani seluruh aspek yang terkait dengan persiapan dan pelaksanaan likuidasi bank, dan membantu pengawasan terhadap pelaksanaan tugas tim likuidasi yang dibentuk di masing-masing bank.
1 November 1997:
Pemerintah mengumumkan likuidasi 16 bank swasta nasional. Likuidasi tersebut ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan.
3 November 1997:
Untuk mencegah kemerosotan kepercayaan terhadap perbankan, Pemerintah memutuskan untuk membayarkan dana talangan yang akan dikembalikan dari penjualan aset bank-bank yang dilikuidasi.
Desember 1997:
Dengan persetujuan Presiden, Bank Indonesia (BI) lewat surat Menteri Sekretaris Negara No. R-183/M.Sesneg/12/1997 tanggal 12 Desember 1997
menempuh kebijakan mengganti saldo debet bank-bank yang mempunyai harapan sehat dengan Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK). Hal ini dilakukan agar pada akhir tahun 1997 tidak ada lagi bank yang terpaksa ditutup dan dinyatakan bangkrut.
15 Januari 1998:
BI merilis program stabilisasi yang mencakup restrukturisasi sektor keuangan dan sektor riil yang ditandatangani pemerintah dengan IMF dalam Letter of Inten (LoI).
26 Januari 1998:
Pemerintah menjamin pembayaran seluruh kewajiban bank lewat program penjaminan (blanket guarantee).
Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
3 April 1998:
Pemerintah menetapkan tujuh bank dibekukan kegiatan operasinya (BBO) dan tujuh bank lainnya diambil alih (BTO). Karena kondisi beberapa bank BTO tersebut semakin memburuk, maka pada awal Agustus 1998, tiga bank BTO dibekukan kegiatan operasinya.
21 Agustus 1998:
Pemerintah mengumumkan paket restrukturisasi perbankan yang menyeluruh kepada semua bank. Paket ini terdiri atas dua bagian utama. Pertama, kebijakan untuk menyiapkan pemulihan ekonomi melalui program rekapitalisasi dan penyempurnaan ketentuan dan peraturan perbankan.
Kedua, kebijakan yang ditujukan untuk mengatasi permasalahan bank-bank melalui percepatan restrukturisasi bank.
2 Oktober 1998
Lahirlah Bank Mandiri sebagai hasil peleburan 4 bank BUMN (Bank Exim, Bapindo, BBD dan BDN)
1999:
Bank Mandiri didirikan. Bank ini merupakan hasil merger antara Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor Impor Indonesia (Bank Exim).
13 Maret 1999:
38 bank diputuskan untuk di-BBKU (Bank Beku Kegiatan Usaha), 7 bank di-BTO, dan 9 bank swasta nasional, 12 BPD, dan semua bank BUMN ikut dalam program rekapitalisasi. Kebijakan ini juga membawa dampak meningkatnya BLBI untuk menutup kewajiban pemerintah kepada nasabah/kreditur bank yang di-BBKU.
22 September 2005:
Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan LPS pada akhir 2005 tentang pembagian peranan dan fungsi dalam memelihara stabilitas sistem keuangan. Langkah ini diikuti pula dengan pendirian Forum Stabilisasi Sistem Keuangan (FSSK).
1999-2005:
Selain Bank Indonesia, terdapat pula beberapa lembaga yang mengawasi bank namun dengan lingkup yang terbatas yang didirikan pada masa 1999-2005, yaitu:
Badan Pemeriksa Keuangan memiliki tugas untuk mengawasi bank-bank milik pemerintah.
Bapepam berwenang untuk mengawasi bank-bank yang sudah go public.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dibentuk pada tahun 2002 (berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang) memiliki wewenang meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan serta melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berwenang mendapatkan data simpanan nasabah dan laporan keuangan bank serta melakukan verifikasi dan konfirmasi data dalam rangka merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan dan melaksanakan penjaminan simpanan.