Dupla Kartini PS| 22 Agustus 2011
"Sudah dua tahun terakhir saya pakai online trading, dan saya sangat terbantu bertransaksi," tutur Adrian Maulana, public figure yang juga aktif berinvestasi di pasar saham sejak lima tahun silam.
Adrian menuturkan, dengan adanya online trading, sekarang dia bisa lebih gampang bertransaksi di mana dan kapan saja selama jam perdagangan bursa berlangsung. Ini lantaran dia tak harus repot menghubungi trading desk (broker) untuk mengeksekusi transaksi. "Semua transaksi bisa saya lakukan langsung secara independen," ujarnya.
Dia berkisah, pada awal berinvestasi di pasar saham pada 2007 silam, dia juga menggunakan layanan konvensional. Dulu, transaksinya bisa terhambat jaringan telepon putus, karena tidak bisa menghubungi broker untuk bertransaksi. Nah, seiring hadirnya sistem online trading yang menawarkan kepraktisan, dia otomatis beralih ke layanan ini sejak 2009 silam.
Berdasar pengalamannya, Adrian bilang, selain efisien dan praktis, kelebihan OLT karena umumnya menyajikan berita dan analis saham. OLT juga unggul karena ada semacam fasilitas warning atau alarm di software online trading yang muncul saat suatu saham turun di level tertentu. Alarm ini akan muncul sesuai batas toleransi penurunan harga saham yang sebelumnya ditargetkan nasabah. "Kalau di konvensional, belum tentu broker mau menghubungi nasabahnya satu-satu untuk memberi warning semacam ini," ujarnya.
Namun, adanya risiko kelalaian berupa salah ketik atau klik tombol perintah, menjadi kelemahan layanan ini. Dia bilang, saat nasabah salah memasukkan order, dan transaksi yang tereksekusi tidak sesuai keinginan nasabah, maka kelalaian itu menjadi risiko nasabah. Berbeda pada konvensional, di mana order harus selalu melalui trading desk (broker) yang bisa memastikan order sesuai keinginan nasabah.
Kelemahan lain dari sisi teknis, yaitu saat jaringan internet lemah yang mengganggu order. Meski begitu, Adrian bilang, bagi nasabah ritel sistem ini lebih banyak sisi positifnya, berbeda dengan nasabah institusi karena mereka umumnya membutuhkan bantuan analisis si broker sebelum bertransaksi.
Tapi, dia mengingatkan investor supaya survei ke beberapa broker sebelum menentukan pilihan. Menurutnya, pilihlah broker yang punya kredibilitas tinggi, dan sudah menggunakan OLT setidaknya dua tahun karena biasanya lebih siap mengantisipasi jika terjadi kendala. "Juga yang punya server besar sehingga tidak ada alasan hang, jadi bukan sekadar broker yang menawarkan fee kecil," saran Adrian.
Kemudahan dan kemudahan fasilitas online trading bukan hanya menguntungkan nasabah. Sistem ini juga memberi kemudahan bagi perusahaan sekuritas (broker). Pasalnya, penggunaan online trading bisa mengurangi tenaga dan menghemat pengeluaran, sehingga lebih praktis dan efisien. Hal ini yang mendorong perusahaan sekuritas belakangan ini giat membidik bisnis ini. Bahkan, dalam perkembangan ke depan, online trading diyakini bakal menjadi layanan andalan dan paling menjanjikan bagi perusahaan sekuritas.
Head of Marketing Lautandhana Online Trading System (LOTS) dari Lautandhana Securindo Khrisna Dwi Setyawan menyebut, masa depan bisnis ekuitas berada pada OLT. Ini lantaran komisi pada layanan konvensional semakin lama kian turun.
Dia membeberkan, pada layanan konvensional, nasabah lama yang aktif dan punya dana besar kerap meminta fee yang sama dengan fee OLT. Padahal, dengan menerapkan fee serendah OLT, namun masih harus melakukan layanan konvensional berbiaya besar, maka dari sisi bisnis sudah tidak prospektif. "Hal ini tidak bisa dicegah, trennya memang akan ke arah OLT. Apalagi, didukung teknologi yang kian berkembang dan murah diakses," ungkapnya.
Masih sedikit yang serius garap OLT
Khrisna yakin bisnis ini baru dimulai, dan pemain yang serius menggarap masih terbatas. Artinya, meski hampir setengah dari Anggota Bursa (AB) sudah menawarkan layanan OLT, namun baru segelintir broker yang sudah memaksimalkan layanan ini. Menurutnya, butuh keseriusan semua sekuritas menggarap OLT supaya bisa memperluas pasar ritel yang masih sangat kecil. "Target bursa tahun ini 2,4 juta investor. Satu-satunya cara mencapai target dengan menggenjot OLT," tutur Khrisna.
Mimpi membidik pasar ritel ini pula yang mendorong Lautandhana meluncurkan Lautandhana Online Trading System (LOTS) pada Februari lalu. Sebagai pemain baru di bisnis ini, LOTS lebih menyasar pada investor pemula. Menurut Khrisna, Lautandhana berusaha menggaet investor melalui pendekatan edukasi dengan kerap menggelar pelatihan gratis. LOTS juga mengadakan semacam grup diskusi bagi nasabah yang dipandu beberapa analis, yang bisa memberi masukan atau pertimbangan sebelum nasabah mengeksekusi order.
Lanjutnya, software online trading dalam LOTS memungkinkan nasabah bertransaksi jual dan beli secara independen, dengan cepat dan mudah. Meski enggan menyebutkan kapasitas transaksi pada software yang diusung LOTS, namun, Khrisna mengklaim kapasitas software LOTS disesuaikan dengan target nasabah saat ini.
Saat ini LOTS baru memiliki 2.000 nasabah. Tapi Khrisna optimistis hingga akhir tahun, nasabah online trading bisa mencapai 7.000 nasabah. Dia bilang, peningkatan kapasitas akan diantisipasi secara berkala sesuai pertambahan nasabah. "Dari sisi bisnis, kami tentunya tidak akan menyediakan kapasitas yang lebih besar dari target," ungkapnya.
Dengan minimal dana Rp 5 juta, nasabah sudah bisa membuka account dan bertransaksi saham di LOTS. Lautandhana mematok fee resmi beli 0,15% dan fee jual 0,25%. Pada layanan konvensional, broker ini mematok minimal investasi Rp 20 juta, dengan fee beli 0,2%, dan fee jual 0,3%.
Kata Khrisna, hingga sekarang, transaksi melalui online trading baru menyumbang 10% terhadap total nilai transaksi harian Lautandhana yang mencapai Rp 100 miliar. Namun, dia belum mau mengumbar target kontribusi OLT hingga akhir tahun.
Dia cuma bilang, sebagai pemain baru di bisnis ini, Lautandhana hanya menargetkan di pengujung tahun ini bisa tetap survive, walaupun nantinya transaksi konvensional mulai turun. Saat ini, dari nilai transaksi, Lautandhana berada di peringkat 20 besar di bursa. "Paling tidak kami bisa pertahankan posisi itu, lebih bagus kalau bisa masuk target 10 besar," imbuhnya.
Peluang menggarap pasar ritel yang masih luas ini bahkan telah lebih dulu dilirik Danareksa Sekuritas. Perusahaan pelat merah ini sudah meluncurkan OLT sejak Mei 2010.
Assistant Vice President Cyber Trading Head Retail Distribution Danareksa Online Trading (D'One) Satrio Hadi Waskito menyebut, D'One terutama membidik investor baru. Meski sudah 10 tahun terakhir masyarakat terekspos tentang pasar modal, namun kebanyakan masih belum paham cara memulai investasi. "Untuk itu kami penetrasi lebih jauh ke publik, diawali dengan konsep mendidik, kemudian membawa mereka berinvestasi," ujar Satrio.
Satrio mengklaim sejak diluncurkan hingga saat ini, trend transaksi di D'One masih bertumbuh bagus. Namun, dia tak merinci besaran angka pertumbuhan itu. Dia cuma bilang, saat ini, transaksi online trading baru berkontribusi 20% pada total nilai transaksi harian ritel Danareksa yang mencapai Rp 100 miliar. Adapun, hingga akhir tahun, Danareksa menargetkan transaksi melalui D'one bisa menyumbang 30% terhadap nilai transaksi harian ritel. Tapi, dia bungkam soal target nilai transaksi Danareksa hingga akhir 2010.
Dari total 33.000 nasabah ritel Danareksa saat ini, sekitar 9.000 pengguna online trading. Satrio optimis, hingga akhir tahun nanti, D'One bisa menggaet 8.000 nasabah baru. Katanya, investor bisa menjadi nasabah D'One dengan menyiapkan dana Rp 5 juta. Broker ini membebankan fee resmi transaksi beli 0,17%, dan fee jual 0,27%.
Sebagai pemanis bagi nasabah, D'One sedang menyiapkan konsep member get member. Kata Satrio, nantinya nasabah yang membawa member baru akan mendapatkan passive income. Namun, Satrio belum mau bicara banyak soal gimmick ini. "Kami masih persiapan, belum boleh dipublikasikan karena masih rahasia, target bulan ini launching," kilahnya.
Jurus pioner pertahankan pangsa pasar
Sebagai pioner online trading, eTrading Securities mulai merasakan ketatnya persaingan OLT saat ini. Meski begitu, Direktur eTrading Securities Arisandhi Indrodwisatio yakin, bisnis ini masih berpeluang besar dikembangkan. "Asalkan serius dan rajin berinovasi," ujarnya.
Arisandhi menuturkan, eTrading menggarap online trading sejak 2003 silam. Tak heran, broker ini dikenal sebagai pemain pertama di bisnis ini. Dia bilang, eTrading pertama kali membawa sistem ini ke Indonesia karena melihat kesuksesan OLT di Korea. Mayoritas pemegang saham eTrading memang dari Korea. "Manajemen melihat pasar di sini sangat potensial, lalu memodifikasi sistem supaya sesuai dengan pasar Indonesia," tuturnya.
Dia bercerita, pada awal menjual layanan ini, masih sulit menarik investor, lantaran investor sama sekali belum mengenal sistem online trading di saham. Jumlah yang bergabung kurang dari 1.000 nasabah di tahun pertama. Nasabah mulai menggemuk sejak 2005 hingga 2008. Meski begitu, di tahun-tahun itu, transaksi harian rata-rata masih di bawah Rp 100 miliar.
Lonjakan nasabah yang signifikan terjadi di 2009, seiring diluncurkannya software home online trading system (HOTS) versi kedua. Apalagi, kata Arisandhi, saat itu pasar baru keluar dari krisis 2008, sehingga minat berinvestasi di saham mulai menanjak. Sistem baru ini bisa mencover kapasitas transaksi lebih besar. Namun, dia enggan membeberkan kapasitas yang bisa ditampung HOTS.
"Yang jelas, kapasitasnya sangat besar. Dengan transaksi yang ada sekarang, belum membebani sistem yang kami miliki," sebutnya. Saat ini, eTrading tercatat sudah memiliki 46.000 nasabah, di mana 99% investor ritel.
Adapun, nilai transaksi harian sejak 2009 sudah mencapai sekitar Rp 300 miliar. Dan, saat ini, transaksi harian pun berkisar Rp 300 miliar hingga Rp 400 miliar, tergantung kondisi market. Menurutnya, pertumbuhan dua tahun terakhir tidak sepesat 2009, karena persaingan mulai ketat.
Data BEI per 1 Agustus 2011 menunjukkan, eTrading menempati posisi ketiga broker dengan volume transaksi terbesar di bursa (most active broker), berada di bawah CIMB Securities Indonesia. Sementara, dari nilai transaksi, eTrading masih berada di urutan kelima, di bawah broker-broker asing (Lihat tabel)
Lantas, apa kunci kelangsungan bisnis eTrading? Sebagai pioneer, yang pasti sekuritas ini sudah lebih berpengalaman menjalankan OLT, dan dikenal identik dengan bisnis online trading. Fee yang ditawarkan pun cukup bersaing, dengan tarif resmi untuk transaksi beli 0,15%, dan tarif jual 0,25%. "Bahkan, fee masih bisa nego. Kami pernah kasih fee hingga 0,1% bagi nasabah besar dan yang aktif bertransaksi," ungkap Arisandhi.
Selain itu, dia mengklaim, software HOTS yang digunakan bisa memberikan sebuah sistem yang stabil, mudah, dan cepat untuk eksekusi transaksi. Fitur dalam HOTS juga lengkap, dan eTrading getol berinovasi mengembangkan fitur-fitur tambahan, seperti menyediakan fitur berita dari beberapa sumber. Keberadaan fitur ini memudahkan nasabah mendapat informasi terkini, tanpa harus membuka berbagai situs. HOTS juga menyediakan banyak pilihan metode analisis menggunakan beragam chart.
Bahkan, sebagai pemikat, awal Mei lalu, broker ini meluncurkan program "Mileage" atau penghitungan poin dari setiap fee transaksi. Setiap bertransaksi dengan besaran tertentu, nasabah berhak mendapat poin, yang bisa ditukar dalam bentuk rupiah. Dari akumulasi poin tersebut dalam kurun waktu tertentu, minimal 10% disisihkan sebagai donasi untuk kegiatan sosial. Sementara, sisanya menjadi milik nasabah dan bisa ditransfer ke rekening bersangkutan.
Dengan terus berinovasi dan memaksimalkan layanan, saat ini eTrading masih memegang market share 3,5% dari total nilai transaksi di bursa. "Tahun ini kita target bisa sampai 4% - 4,5%," ujar Arisandhi. Sedangkan, dari frekuensi transaksi, market share eTrading saat ini berkisar 10% hingga 12%.
Dia juga optimistis, meski tidak secepat laju tahun sebelumnya, namun nasabah masih akan bertambah. Targetnya, hingga pengujung tahun total nasabah bisa mencapai 60.000 nasabah. "Kami tetap optimistis, apalagi, ada fatwa halal perdagangan di bursa, semoga bisa menjadi angin segar," imbuhnya.
untuk memperbesar | Klik di sini