Dupla Kartini PS| 22 Agustus 2011
Booming bisnis online trading belum diikuti dengan pertumbuhan investor, khususnya di segmen ritel. Data Kustodian Sentral efek Indonesia menunjukkan, terdapat 344.325 sub rekening efek hingga akhir Juni 2011. Dari jumlah tersebut, diperkirakan hanya sekitar 300.000 nasabah ritel.
Masih kecilnya 'kue' nasabah ritel ini menjadi persoalan fundamental yang memicu perusahaan sekuritas jor-joran menurunkan tarif demi menggaet nasabah. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Lily Widjaja menuturkan, perang tarif sudah sejak lama dikeluhkan Anggota Bursa (AB). Namun, belakangan, dengan maraknya OLT, persaingan fee kian berat. Ada broker yang menurunkan fee hingga 0,1%, bahkan di bawah 0,1%.
Direktur eTrading Securities Arisandhi Indrodwisatio mengakui, meski fee beli resmi di eTrading 0,15%, namun pihaknya pernah menerapkan fee 0,1% kepada nasabah tertentu. Pasalnya, dia bilang, nasabah tersebut memasang bargaining, yaitu meminta fee lebih rendah supaya tetap mempertahankan dananya dan menggunakan jasa broker ini. Biasanya, nasabah dengan dana besar yang melakukan seperti ini. "Kalau sudah begitu, mau tidak mau kami nego fee," tuturnya.
Menurut Lily, meski kompetisi online trading lebih ke pasar ritel, tapi tetap berpengaruh terhadap aktivitas broker yang masih mengusung layanan konvensional. Lantaran bakal lebih berat mempertahankan nasabah lama, juga sulit menarik nasabah baru. Pasalnya, nasabah baru belum punya pengalaman dan loyalitas, sehingga lebih gampang terpikat fee rendah. "Kami melihat perang tarif ini sudah tidak sehat, sehingga perlu diupayakan adanya floor fee," ungkap Lily.
Floor fee adalah batas minimal tarif transaksi jual dan beli yang boleh dikenakan broker kepada nasabah. Batasan ini nantinya berlaku baik untuk layanan online trading maupun konvensional. Sejak setahun lalu, APEI sudah membentuk tim kajian floor price yang merancang batasan tarif ini.
Ketua Tim Kajian Floor Price APEI Jimmy Nyo menyebut, sejauh ini belum sampai ada AB yang mengeluhkan pendapatan turun. Namun, fee yang rendah disinyalir menyulitkan broker yang baru akan masuk ke bisnis OLT. "Mereka akan kesulitan menerapkan fee, supaya bisa bersaing dengan pendahulunya," ujarnya.
Lebih lanjut, Jimmy bilang, beratnya perang tarif tidak hanya dikeluhkan broker konvensional, tapi juga yang sudah menggarap online trading. Menurutnya, ini terjadi lantaran ada broker yang menurunkan tarif transaksi hingga 0,06%, terutama untuk nasabah besar. Namun, beberapa broker justru mengaku meski diberi tarif sangat rendah, belum tentu transaksi si nasabah tinggi, sehingga tidak menguntungkan juga bagi perusahaan sekuritas tersebut.
Maka, dengan niat menyehatkan industri, APEI melalui tim kajian sedang menyusun formula tarif minimal (floor fee) transaksi di broker. Hasil sementara yang sudah dipresentasi kepada Bapepam-LK, yaitu 0,175% untuk fee beli, dan 0,275% fee jual.
Besaran ini hasil kajian fee bursa di beberapa negara tetangga yang hitungannya menggunakan dasar levy (fee yang dibayarkan broker kepada bursa). Dengan, besaran levy lokal sebesar 0,04%, maka formula fee beli: levy (0,04%) + 3 kali levy (0,12%) + pajak (0,015%). Adapun, formula fee jual: levy + 3 kali levy + Pajak + capital gain 0,1%. (lihat tabel)
Saat ini, tim kajian floor price sedang menunggu hasil kajian konsultan dari kalangan akademisi. Konsultan ini akan mengkaji secara ilmiah dan teoretis seperti yang disarankan Bapepam-LK. Sebelumnya, tim kajian menargetkan formula floor fee rampung Juni lalu. Namun, kata Jimmy, terpaksa diundur, lantaran sampai sekarang APEI masih menunggu hasil kajian dari konsultan sebagai pembanding terhadap angka yang diusulkan APEI.
"Mereka butuh waktu dua bulan lagi untuk menyelesaikan kajiannya," sebut pria yang juga menjabat Direktur Utama BNI Securities ini.
Jika kajian itu keluar, maka hasilnya akan dibandingkan dengan kajian APEI. Dia bilang, jika hasil kajian sama, berarti angka yang dirumuskan APEI semakin kuat, dan kesepakatan floor fee bisa segera ditetapkan. Tapi, kalau angkanya berbeda, maka akan digodok lagi dalam tim. Artinya, tim kajian APEI butuh tambahan sekitar satu bulan untuk membahas dan mengambil keputusan. "Tapi, saat ini, kami belum bisa tentukan jalan tengahnya akan seperti apa, harus liat seperti apa kajian dari konsultan," tandas Jimmy.
Meminimalisir bargaining nasabah
Jimmy menyebut, saat proses perumusan formula sudah dikomunikasikan kepada para broker anggota APEI. Pada umumnya broker setuju dengan penerapan floor price ini, karena mereka sudah lelah bersaing tarif, dan menghadapi bargaining (posisi tawar) nasabah atas tarif transaksi.
Adanya posisi tawar nasabah berdana besar diakui Arisandhi. Menurutnya, tipikal investor OLT tidak hanya membuka account di satu broker. Nah, investor akan mencoba-coba dan membandingkan dari sisi keekonomian dan layanan. Pada akhirnya, nasabah dengan dana besar akan pasang bargaining. Tak heran, meski fee beli resmi OLT di eTrading 0,15%, namun pernah menurunkan hingga 0,1%.
Sementara, di BNI Securities, menurut Jimmy, sebagai perusahaan pelat merah, pihaknya cukup percaya diri dengan fee yang masih terbilang tinggi, yaitu 0,2% untuk tarif beli, dan 0,3% untuk tarif jual. "Kalaupun dinegosiasi batas minimal hingga 0,18%," ucapnya.
Tapi, Jimmy menegaskan, pihaknya tidak sekadar berlindung di balik posisinya sebagai perusahaan milik pemerintah. Dia bilang, alasan BNI Securities tidak mati-matian membanting tarif karena berupaya menjamin keamanan dana nasabah. "Untuk itu ada harga yang harus dibayar nasabah. Dengan cara itulah kami bertahan dari tindakan penyalahgunaan dana nasabah," urainya.
Nah, terkait rencana APEI menerapkan batas fee minimal, Arisandhi mengaku akan senang kalau semua broker bermain di batasan yang sama. Hal ini dinilainya bisa menekan nasabah yang berniat memasang posisi tawar fee. Cuma, dia bilang, akan lebih bagus kalau dalam bentuk aturan. "Kalaupun sebatas kesepakatan, kami berharap kesepakatan ini diteken semua AB, bukan hanya broker tertentu saja, sehingga semua bermain di koridor yang sama," tandasnya.
Senada, Head of Marketing Lautandhana Online Trading System (LOTS) dari Lautandhana Securindo Khrisna Dwi Setyawan juga siap mengikuti floor fee, asal disepakati bersama anggota APEI. Dia tidak mau nasabah pasang bargaining. "Floor fee juga diharapkan bisa memacu AB menggarap pasar baru dengan mengutamakan persaingan dari sisi layanan," ungkapnya.
Meski umumnya setuju, namun kata Jimmy, sejauh ini, para broker masih khawatir bagaimana cara menaikkan fee yang sudah kadung rendah. Dia pun meyakinkan AB, jika floor fee ini rampung dan disepakati semua anggota APEI, maka akan lebih mudah menyamaratakan tarif transaksi. "Nasabah tidak lagi sembarang bargaining position, karena di semua tempat batas bawah sama," ujarnya.
Setelah keluar angka final, tim kajian akan melapor kepada Komite Ketua Umum APEI. Lalu, asosiasi akan mengundang semua AB untuk sosialisasi dan membuat komitmen. Jimmy menyebut, floor fee ini bentuknya berupa kesepakatan. Kalau kesepakatan saja sudah bisa jalan dengan baik, tidak perlu sampai bentuk aturan. Pasalnya, bentuk aturan masih banyak yang harus dipertimbangkan. "Asuransi saja bisa, masa kita di broker tidak bisa," tandasnya.
Namun, APEI tetap mewanti-wanti. Jimmy bilang, jika ada broker yang melanggar, maka akan dikomunikasikan di lingkungan APEI dan diimbau kembali untuk melaksanakan komitmen. Tapi, jika departemen pembinaan APEI tidak bisa menangani, maka jalan berikutnya dengan menerbitkan peraturan.
Investasi OLT tergantung target broker
Ada kekhawatiran perang tarif bisa berdampak pada kualitas layanan broker terhadap nasabah. Lily menuturkan, perang tarif mungkin saja bisa berpengaruh pada kelangsungan hidup broker dan kualitas layanan.
Menurutnya, bisa jadi salah satu broker besar menurunkan tarif ekstrem dengan hitung-hitungan tersendiri, lantas diikuti broker lain karena tidak ingin kalah saing. Padahal belum tentu modalnya mendukung. Akibatnya, bisa saja ada fungsi layanan yang tidak dijalankan broker itu, sehingga merugikan nasabah. "Apalagi, jika margin tidak menutupi operasional, bisa mengarah mandeknya perkembangan bisnis broker," ujarnya.
Lily menyebut, itulah sebabnya sebagai pencegahan, asosiasi merasa perlu membuat kesepakatan minimal fee transaksi. Hal ini untuk menghindari aksi jorjoran broker menurunkan biaya transaksi, yang bisa merugikan nasabah dan mengancam kelangsungan bisnis broker. Sehingga, nantinya perusahaan sekuritas bisa bersaing sehat dan fokus pada peningkatan kualitas layanan.
Adapun, terkait besaran investasi membangun sebuah layanan online trading, Jimmy Nyo bilang, bursa maupun asosiasi tidak menetapkan batasan modal minimal. Ini lantaran berapa besar investasi tergantung kebutuhan perusahaan sekuritas dan target nasabah. Semakin banyak nasabah, investasi harus lebih besar, karena harus menyiapkan sistem dengan kapasitas transaksi lebih besar.
Nah, berdasarkan pengalaman, Dirut BNI Securities ini bilang, di awal membangun layanan online trading, BNI Securities menggelontorkan investasi Rp 6 miliar. Seiring inovasi layanan dan bertambahnya nasabah, broker pelat merah ini pun menambah investasi, sehingga total sampai saat ini sudah merogoh kocek total Rp 11 miliar.
Jimmy menyebut, di tahun pertama launching OLT, September 2008, pihaknya baru menargetkan transaksi harian Rp 5 miliar. Setahun kemudian, target transaksi dinaikkan menjadi Rp 50 miliar, seiring pertambahan nasabah yang signifikan di 2009. Kata Jimmy, dengan target tersebut diperkirakan bisa menutup biaya operasional harian, dan mengantongi margin, sehingga bisa segera balik modal.
Dia bilang, pencapaian transaksi harian sejak 2009, selalu melebihi Rp 50 miliar. Adapun, tahun ini, broker pelat merah ini menargetkan bisa meraih transaksi harian online trading sebesar Rp 80 miliar.
Arisandhi mengklaim, berdasar pengalaman di eTrading, perusahaan sekuritas yang menggarap OLT sangat mungkin menurunkan fee, karena biaya operasional harian yang dikeluarkan pun lebih rendah. "Dengan OLT, broker terbantu sistem, sehingga masih tetap mengantongi margin," tukasnya. Namun, dia tidak bersedia buka-bukaan soal besaran investasi awal yang digelontorkan eTrading untuk menyiapkan layanan OLT.
Dia juga bilang, penurunan fee tidak akan berimbas terganggunya layanan kepada nasabah, dan tidak akan mengancam kelangsungan bisnis, jika broker serius menggarap bisnis online trading.
Sementara, menurut Head of Marketing Lautandhana Online Trading System (LOTS) Khrisna Dwi Setyawan, investasi di bisnis online trading bersifat jangka panjang. "Investasi di sini jangan diharapkan cepat balik modal, yang penting serius menggarap dan konsisten," tandasnya.
untuk memperbesar | Klik di sini
untuk memperbesar | Klik di sini
untuk memperbesar | Klik di sini