Asep Sukses Berbisnis Gerabah Tanpa Modal Sepeser
Lahir di tengah keluarga perajin gerabah membuat Asep Supriatna, pemilik usaha Krapel Kraft di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta ini berprofesi sebagai perajin gerabah. Keahlian membuat gerabah dia dapatkan secara otodidak ketika membantu sang paman menjalankan usaha gerabah.
Sejak duduk di bangku SMP Asep sudah mulai belajar membuat gerabah. Kedua orang tua Asep pun berprofesi sebagai perajin dan masih menjalankan usaha gerabah hingga kini.
Sedikit demi sedikit Asep mulai bisa membuat kreasi gerabah sendiri sesuai imajinasinya. Satu per satu produk gerabah buatannya dia simpan di kamar tidurnya sebagai koleksi. Lama kelamaan gerabah buatannya menumpuk dan sudah membuat kamarnya sesak penuh dengan tumpukan gerabah.
Dari situ, Asep mulai untuk mencoba menjual produknya dengan menitipkannya di gerai milik orang tuanya yang juga berlokasi tidak jauh dari gerai sang paman. Ternyata gerabah buatannya diminati oleh pembeli. Sedikit demi sedikit dia pun memiliki simpanan dari menyisihkan uang hasil bekerja di tempat sang paman sambil terus membuat gerabah.
Akhirnya pada tahun 2007 Asep berani membuka usaha sendiri dan memisahkan diri dari sang paman. Awalnya Asep menjual 100 unit gerabah buatannya sebagai tes pasar. Respons konsumen ternyata cukup positif. Usahanya terus berkembang hingga harus mencari pekerja untuk membantunya membuat gerabah.
Pada tahun 2009 dia memiliki dua pekerja dan di tahun 2010 bertambah hingga lima orang. Hingga kini Asep memiliki total 14 pekerja, yakni sembilan orang yang bekerja di bengkel produksinya dan sisanya bekerja di rumah mereka masing-masing.
Asep mengaku memiliki kelebihan desain produk yang lebih kreatif dibanding produk gerabah lainnya. Pria berusia 35 tahun ini memiliki idealisme tersendiri untuk bisa membuat gerabah yang berbeda dari lainnya. "Saya suka gaya desain berornamen yang banyak dengan memiliki detil yang banyak dari hasil ilustrasi produk nyata seperti tambang, pita, ikat pinggang dan lainnya," katanya.
Selain memiliki desain yang unik, kualitas bahan baku dan produk pun terus dia jaga agar bisa tetap bertahan dalam persaingan. Itu sebabnya, hingga kini Asep mengaku tidak terlalu sulit mencari pasar untuk memasarkan produknya.
Dia memiliki sejumlah langganan dari beberapa daerah seperti Puncak, Jakarta dan Bandung. Pria yang memiliki dua anak ini juga kerap mengikuti pameran yang diadakan oleh pemerintah daerah untuk mencari pembeli. Dalam setahun saya bisa mengikuti pameran dua sampai tiga kali di Jakarta seperti Pameran Inacraft. "Biasanya saya bergabung dengan paman," ujarnya.
Sekali pameran dengan durasi lima hari sampai seminggu, dia bisa mendapat omzet Rp 3 juta-Rp 4 juta per hari. Di luar itu, saban bulan Asep bisa meraup omzet sekitar Rp 30 juta dari berjualan gerabah. Kapasitas produksinya sekitar 1.500-2.000 pieces per bulan. Jika dihitung-hitung dengan pemasukan dari pameran seminggu ditambah penjualan ritel maupun grosir, Asep bisa meraup omzet Rp 58 juta.
Harga jual produknya beragam, mulai dari pot kecil seharga Rp 5.000 per unit hingga pot bunga setinggi 1 meter (m) dengan diameter 60 sentimeter (cm) seharga Rp 2,5 juta per unit. Ketika KONTAN menyambangi workshop-nya yang terletak tak jauh dari pusat Litbang Koperasi UKM Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Purwakarta, beberapa pekerja sedang menyelesaikan pesanan ratusan suvenir tanah liat untuk wisuda mahasiswa. Produk ini akan dikirim ke Jakarta.
Menurutnya, berbisnis gerabah adalah bagaimana membuat produk yang inovatif sehingga bisa meningkatkan nilai jual. Produk yang sedang tren di pasar dia coba buat dengan berbagai inovasi dan kreasi dari segi bentuk dan warna sehingga bisa dia jual lebih tinggi dari harga pasaran.
Dan saat ini dia lebih banyak berkompromi dengan idealismenya sendiri. Agar perputaran modal bisa cepat berjalan, Asep lebih banyak membuat gerabah yang komersial ketimbang produk yang produksinya butuh waktu lama karena mengedepankan keahlian lebih tinggi lantaran banyak ornamen di dalamnya.
"Karena kami berpacu dengan waktu dan harus membayar perajin juga. Tapi, terkadang kalau saya mendapat pesanan dengan desain yang unik dan sulit justru membuat saya senang dan tertantang," ujar pria kurus berambut lurus ini.
Untuk pasar ekspor, sebagai bisnis mikro, Asep masih belum memiliki kemampuan untuk mengekspor langsung ke luar negeri. Beberapa kali Asep menjadi hub ke orang lain. Dia membuat sejumlah produk sesuai pesanan pengepul untuk digabungkan dengan produk milik perajin lainnya.
Dari situ produk dikirim ke Jakarta untuk diekspor. Perajin akan mendapatkan uang dari hasil penjualan produk dari kesepakatan di awal dengan pihak yang akan mengekspor tersebut. Misalnya, dia pernah mendapat pesanan sekitar 300 unit gerabah yang harus diselesaikan dalam 1,5 bulan. Tiap minggu dia mendapat cicilan pembayaran dari total proyek yang telah disepakati. Proyek seperti ini bisa dia dapatkan enam kali dalam setahun.
Omzetnya lumayan, sekali menjalankan proyek pesanan seperti ini bisa mencapai Rp 20 juta-Rp 25 juta, tergantung dari jumlah produk yang diminta. "Kalau sebagai hub ini sudah banyak kami kirimkan ke luar negeri seperti baru-baru ini untuk dikirim ke UK," ujarnya.
Ke depannya Asep hanya ingin usahanya ini terus berjalan maju meski perlahan. Modalnya, tetap menjaga kualitas dan berinovasi. Dengan begitu, pasar pun diharapkan bisa terus tercipta, baik di dalam maupun luar negeri.