kontan.co.id
share

Hasil Investasi Anda di Era Jokowi

Bulan madu bernama Jokowi Effect itu berumur pendek. Selama empat tahun terakhir kita lebih terbiasa melihat gejolak di pasar keuangan ketimbang tren naik panjang. 



JAKARTA. Senin, 20 Oktober empat tahun silam, Joko Widodo (Jokowi) resmi memimpin Republik Indonesia sebagai Presiden, bersama Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden. Keikutsertaan Jokowi dalam pemilu 2014 sempat memicu fenomena Jokowi Effect di pasar modal. Ini adalah euforia di pasar saham yang dipicu oleh kehadiran sosok Jokowi.

Waktu itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat menguat 25% lebih, dari Januari hingga September 2015, mengikuti euforia Jokowi Effect. "Pasar melihat Jokowi sebagai sosok yang market friendly," kata Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, kemarin.

Tapi, bulan madu itu berumur pendek. Empat tahun terakhir, pasar saham lebih volatil dan berfluktuasi. Kita terbiasa melihat naik turun IHSG sebesar 2%-5% dalam satu hari perdagangan.

Laju harga saham pun cenderung stagnan. Periode Oktober 2014-Oktober 2018, akumulasi kenaikan IHSG sebesar 16,98%. Ini adalah jumlah kenaikan IHSG setiap tahun selama empat tahun. Sebagai perbandingan, periode Oktober 2010-Oktober 2014, akumulasi kenaikan IHSG mencapai 35,71%.

Di sisi lain, imbal hasil di obligasi juga turun seirama tren penurunan inflasi dan bunga acuan. Era sebelumnya, imbal hasil obligasi berkisar 9%-10% per tahun. Kini, bunga obligasi sekitar 7%-8%. Begitu pula dengan nasib portofolio investasi lain. Semuanya nyaris stagnan (lihat infografik).

Memang, "kelesuan" investasi portofolio empat tahun terakhir ini tak sepenuhnya disebabnya faktor lokal. Bahkan boleh dibilang, episentrum gejolak di pasar modal bersumber dari luar negeri. Misalnya, kenaikan bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS), perang dagang, Brexit, serta krisis utang di sejumlah negara.

Nah, saat berbagai sentimen dari luar itu berpadu dengan penurunan rupiah ke level 15.000 per dollar AS serta defisit neraca pembayaran Indonesia, terciptalah badai sempurna bagi pasar keuangan dan pasar modal dalam negeri.

Sisi baiknya, kini jumlah investor lokal di Bursa Efek Indonesia kian bertambah, terutama sejak bergulir kampanye Yuk Nabung Saham. Di pasar obligasi, pemerintah menggenjot penjualan surat utang ritel.

Peningkatan jumlah investor ritel ini merupakan hal positif. "Dominasi investor asing membuat kinerja obligasi pemerintah mudah goyah," tutur Anil Kumar, Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Indonesia.

Nah, bagaimana nasib portofolio investasi Anda selama era Jokowi? Simak ulasannya.





Artikel